Amir Syarifuddin: Pejuang Pembebasan
Hotman J Lumbangaol
Revolusi telah memakan anaknya sendiri. Amir Syarifuddin Harahap (1907-1948), mantan Perdana Menteri ke-2 Indonesia ini menjadi korban revolusi yang dia lahirkan sendiri. Meninggal tragis pada 19 Desember 1948, saat dieksekusi oleh regu tembak bersama sembilan orang tokoh tanpa nama.
Tak banyak literatur dan informasi tentang putra Mandailing ini. Itu sebabnya sosoknya tidak banyak yang tahu, jarang diangkat media. Informasi tentang pesohor ini selalu dibragus. Satu fakta, tahun 1984 Penerbit Sinar Harapan menerbitkan tesis Frederiek Djara Wellem yang dilauncing di STT Jakarta di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat yang berjudul “Amir Syarifuddin; Pergumulan Iman dan Perjuangan Kemerdekaan”. Tidak berapa lama, buku itu di-sweeping masa pemerintahan Soeharto karena dianggap merusak sejarah Indonesia.
Buku biografi tentang Amir Syarifuddin Harahap sesat. Padahal, dialah salah seorang bapak pendiri bangsa dalam memperjuangkan eksistensi NKRI. Padahal, penghargaanya tidak pernah dihargai Negara yang diperjuangkannya. Di pusara, gundukan makamnya, terlulis nisan tanpa nama, di Desa Ngaliyan, Karanganyar, Jawa Tengah. Tidak seperti sejawatnya, Soekarno, Hatta dan Syharier menerima penghargaan berupa bintang Jasa. Dihargai sebagai pahlawan, dan dikubur di makam yang terhormat.
Pada 27 Mei 2008 lalu, untuk mengenang jasa-jasanya , STT Jakarta mempelopori seminar bertajuk: “Amir Syarifuddin Nasionalis Pejuang Kemerdekaan dan Pembebasan Rakyat”. Tampil sebagai pembicara: Setiadi Reksoprodjo mantan menteri pada kabinet Amir Syarifuddin. Ketua STT Jakarta Dr. Jan .S Aritonang. Aswi Warman Adam dosen sejarah dan peneliti. Dimoderatori Fadjroel Rahman.
Pengkotbah Amir belia lahir di Tapanuli Selatan 27 April 1907. Ayahnya keturunan kepala adat dari Pasar Matanggor, Padang Lawas, bernama Djamin Baginda Soripada Harahap (1885-1949), mantan jaksa di Medan. Sementara ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), lahir dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu di Deli. Zaman itu, saat Belanda membuka perkebunan besar-besaran di Deli, banyak orang Batak eksodus ke daerah ini. Maka, kalau itu ada istilah “Kampak bukan sembarang kampak. Kampak pembela kayu. Batak bukan sembarang Batak. Batak masuk Melayu”.
Masa remaja, Amir menimba pendidikan Belanda di ELS semacam Sekolah Dasar di Medan tahun (1914-1921). Sementara, tahun 1926 atas undangan sepupunya, T.S.G. Mulia pendiri penerbit Kristen BPK Gunung Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad (dewan) belajar di kota Leiden, Belanda mengajak Amir untuk juga sekolah disana.
Di Belanda, Amir aktif berorganisasi pada Perhimpunan Siswa Gymnasium, Haarlem. Selama masa itu pula dia aktif mengelar diskusi-diskusi Kelompok Kristen, kemudian hari menjadi embrio Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Di sana, dua sepupu itu menumpang di rumah seorang guru pemeluk Kristen Calvinis bernama Dirk Smink. Kristen Calvinisme adalah aliran gereja dari spirit bapak Gereja, John Calvin (1509-1564).
Amir Syarifuddin yang dulunya berasal dari keluarga Muslim, berpindah agama menjadi Kristen. Dia tidak saja hanya berpindah iman tetapi mendalami agama Kristen sungguh-sungguh. Tiap hari Minggu turut berkotbah. Kotbahnya selalu menyetuh, dan meneguhkan banyak orang. Penggaliannya terhadap Injil sangat mendalam. Itu sebabnya, detik-detik terkhir hidupnya, dia menggengam Alkitab.
Pejuang Pembebasan
Sebuah dokumen Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service (NEFIS), menyebutkan, instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut".
Pada September 1927, sekembalinya dari Belanda, Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia dan tinggal di asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106. Dalam memperjuangkan kemerdekan Indonesia, dia terlibat berbagai pergerakan bahwa tanah. Tahun 1931, Amir terlibat mendirikan partai Indonesia (Partindo).
Amir juga mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) sembari menulis dan menjadi redaktur “Poedjangga Baroe”. Berjuang untuk pembebasan dari belenggu penjajah, benih-benih perjuang itu pun makin mekar saat bertemu para tokoh pejuang seperti Mr. Muhammad Yamin, dan Amir aktif pada diskusi Politik Indonesia bersama Muhammad Husni Thamrin.
Pada bulan Januari 1943 dia tertangkap oleh fasis Jepang, karena dianggap pemberontak. Di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini membongkar jaringan, organisasi anti fasisme Jepang yang dimotori Amir. Kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat, teman-teman satu pergerakan.
Ketika menjabat Menteri Pertahanan, Amir tidak sependapat terhadap kebijakan Hatta karena pengurangan jumlah tentara, dari 400 ribu menjadi 60 ribu tentara. Menurutnya, layaknya tentara, satu banding tiga, satu tentara untuk menjaga tiga orang penduduk.
Di Kabinet Sjahrier pada tanggal 12 Maret 1946, Amir Sjarifuddin diangkat menjadi Menteri Pertahanan dari Partai Sosialis, dikemudian hari berafiliasi dengan Komunis. Tan Malaka dan Kelompok Persatuan Perjuangan menculik Perdana Menteri Sjahrier. Dari sana dia menjadi perdana menteri.
Dalam Persetujuan Renville, Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kabinet Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan samasekali, ketika disalahkan atas persetujuan Renville oleh golongan Masyumi dan Nasionalis.
Kageriaan itu. Peristiwa pemberontakan Madium tahun 1948 yang memilukan itu, disebut dilakukan PKI atas restu dari Amir Syarifuddin. Walau tidak pernah terbukti.
Sepeninggalnya; keluarganya dihina. Anak-anaknya mendapat diskriminasi. Untuk makan saja waktu itu keluarga ini harus terlunta-luntah. Salah satu anaknya, Helena, saat ini bekerja di Sekolah Johnny Andrean, mengatakan, masa sepeninggalan sang ayah, hidup mereka terlantar. Kini, atas bantuan lembaga swadaya masyarakat, Omnes Unum Sint Institut, dan Komisi Hak Asazi Manusia membantu perizinan pembangunan makam tanpa nama itu diperbaiki.
Inilah sejarah. Indikasi keterlibatanya pada pemberontakan PKI di Madiun masih samar. Dieksekusi tanpa pernah diadili. Divonis tanpa terbukti salahnya dimana. Ahli sejarahwan, Aswi Warman Adam menulis, sepanjang hidupnya, Amir hidup dari kamp ke kamp. Perjuanganya tidak pernah dihitung. Narsis.***