Mendendangkan Teologi Batak
Hotman J. Lumban Gaol
Judul: Dendang Bakti; Inkulturasi Teologia Dalam Budaya Batak
Penulis: Mgr Dr Anicetus B Sinaga, OFMcap
Penerbit: Bina Media Perintis, Medan
Tahun: 2004
Tebal: 453 halaman
Dendang Akhir
Manakah janji Dewata
Bagi Insan sengsara
Cakar maut t’lah meraja
Sinar segala asa
Dari sejak sediaka
Tuhanlah Jurus’lamat
Mengapa kini berlambat
Insan sudah sekarat
Bagimu disediakan
Penebus dan Harapan
Yesus Kristus selamatan
Membawa kebangkitan
Kini keluh dan erangan
Seluruh air mata
Darimu pun disediakan
Terbit Sinar Cahaya
A.B. Sinaga (hal 422)
Ritus Batak penuh tembang pujian dan dendang. Terbaca di torsa-torsa, turi-turian, atau umpasa, yang berkelindan melahirkan filosofi suku bangsa itu. Terasa ada persinggungan kearifan budaya dalam memahami Tuhan. Filsafat selalu mempertanyakan setiap hal, sementara teologi memberikan jawaban. Filsafat yang baik bertanya yang baik, teologi yang baik menjawab pertanyaan dengan baik pula. Buku ini menemukan persinggungan keduanya, mencari arah hubungan kesamaan filosofi Batak dengan teologia Kristen. Walau dengan jujur sebenarnya tidak ada persinggungan dan kesamaannya. Hanya mirip. Mirip tidak berarti sama.
Filosofi Batak mengajarkan sungkun mulani hata sisi mulani uhum, yang berarti bertanya akan membuka dialog, sementara yang tidak mau bertanya memutus komunikasi. Filosofi budaya yang dihubungkan dengan teologia yang berbunyi pantun hagoluan tois hamatean, yang berarti kesombongan membawa kematian, sopan santun sumber kehidupan.
Buku ini ditulis oleh seorang dari dua batakolog (ahli budaya Batak), Dr. Togar Nainggolan, antropolog lulusan Universitas Radboud Nijmen, Nederland. Ahli tentang budaya Batak yang lain adalah penulis sendiri, seorang pastor. Ahli yang lain, di samping kedua nama tersebut adalah Dr Jonnaes Warneck, Jc Vergouwen, Dr Philip Lumban Tobing, Raja Patik Tampubolon.
Tampak ada keterkaitan buku ini dengan buku sebelumnya, “Galasibot Permata Budaya Batak.” Galasibot adalah singkatan dari “Porhatian si bola timbang dan Par-ninggala sibola tali.” Galasibot mempertegas kearifan budaya Batak yang mengajarkan bahwa setiap orang harus bersikap adil. Tuntunan hidup ini juga mengajarkan perilaku tulus, tidak memihak. Tidak menggunakan senjata dalam memimpin.
Hatinya harus lurus, layaknya mata bajak (hudali) membelah tali. Harus bisa menjamin bahwa padi tidak akan dimakan burung sekalipun tidak dijaga, dan ternak aman di ladang sekalipun tanpa alat lecut. Hidup berjalan aman dan tertib bukan karena kuasa kerajaan, melainkan semata-mata karena etos habatahon, mengunakan nilai-nilai luhur orang Batak.
Teologia Batak
Paskah dalam budaya Yahudi adalah pengorbanan kurban yang terbaik untuk menebus dosa manusia. Sedangkan dalam agama Kristen Yesus sendirilah yang menjadi kurban Paskah. Paskah adalah perayaan umat Kristen atas penebusan Kristus lewat jalan salib (Via Dolorosa). Peristiwa itu ditetapkan sejak penyembelihan anak domba Paskah itu. Yesus menjadi kurban untuk keselamatan, yang dalam bahasa Ibrani disebut Zerah Syelamin. Kata Zerah berarti yang disembelih, sedangkan Syelamin kata jamak yang juga berarti Syalom.
Dalam budaya Batak disebut mangasetaon sebagai puncak segala perayaan Batak. Perayaan Tahun Baru Batak, mangase taon mengandung beberapa tujuan yang dianggap bisa memulihkan keselarasan dalam alam semesta (hal.125). Pelaksanaan mangase taon mengandung makna melaksanakan ritus agama, sebagai pohon kehidupan yang berkaitan dalam hidup, kemudian mengaca diri, merenungi nasib ciptaan di depan Sang Pencipta. Mangasetaon adalah ritual agama Batak yang mengharuskan persembahan horbo bius (kerbau kurban), sebagai bakti terhadap Mula Jadi Nabolon (Dewata).
Horbo bius adalah sebagai kurban dari sipir ni tondi untuk menguatkan roh, lebih tepatnya penebusan. Pemahaman yang menggerakkan iman untuk melaksanakan kurban penebusan. Konon, dalam magasetaon kehadiran iman mulia terpancar dalam diri Si Raja Inda-inda. Sebelum horbo bius dikorbankan, hewan itu terlebih dahulu diikat di pohon. Pohon manjadi medium (borotan). Sebelum dijadikan borotan terlebih dahulu harus diberi ritual penyembahan, memohon agar pohon yang sudah dilengkapi bersedia dijadikan borotan. Ritual ini menyiratkan bahwa pohon adalah medium yang juga menyebah Debata Mula Jadi Nabolon.
Dalam budaya Yahudi, setiap acara ritual harus ada domba yang dikurbankan. Persembahan kurban paling sering dilakukan ketika seseorang berbuat dosa. Domba yang sehat dipersembahkan sebagai penebusan dosa. Numun, dalam teologia Kristen kurban penebusan adalah Yesus, yang dikorbankan pada kayu salib untuk menebus manusia dari dosa.
Ada konsep yang disebut sibaran atau nasib yang dikatakan mirip tritunggal dalam agama Kristen. Ada Debata Banua Toru, Debata Banua Ginjang, Banua Tongga.
Di dalam agama Katolik ada ekaristi dan apostolik “Roti dan anggur dalam perayaan ekaristi adalah buah bungaran yang kita miliki, roti dan anggur. Dalam pemahaman Kristen darah dan nyawa manusia adalah kurban tertingi yang telah menyusuk sumsum pemahaman agama Kristen. Yesus sebagai kurban mengganti kurban bakaran orang Yahudi kala itu.”
Dalam ritus paskah, seorang Batak dapat merayakan misteri bahwa untuk menciptakan alam semesta, Mulajadi Nabolon, lebih dahulu menciptakan burung mistis, Manukmanuk Hulambujati. Burung ajaib inilah yang bertelur (martinam) tiga butir menjadi Debata Tolu, yaitu Batara Guru, Soripada dan Mangalabulan. Ketiganya berkuasa atas tiga benua: banua toru (benua bawah), banua tonga (benua tengah), banua ginjang (benua atas). Ketiganya mempunyai permaisuri, masing-masing Si Boru Pareme, Si Boru Panuturi, dan Siboru Sunde (hal 409).
Penulis menandaskan keseriusan menganut Kristen sepantasnya mendorong kita mencari perlambang-perlambang yang mendasar, bagaimana persinggungan teologi Batak dengan teologia Kristen. Salah satunya adalah perlambang burung untuk Allah Roh Kudus, dan telur paskah untuk merayakan kebangkitan misteri dari kehidupan. Terasa buku ini berupaya mencari benang merah yang bisa mempertemukan perlambang dalam agama parmalim dengan Kristen. Upaya yang pantas disambut dengan dua tangan. Namun, disayangkan penulisan buku ini agak kurang menarik, terutama karena paragrafnya yang terlalu panjang-panjang. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar