Senin, 19 Januari 2009

Tahun Baru dan Reinkarnasi Sosial


Tahun Baru dan Reinkarnasi Sosial

oleh Jo Priastana *

Filsuf Yunani Herakleitos (500 SM) bilang hakekat segala sesuatu adalah perubahan. Tak ada orang yang menyangkal. Bahkan, Barack Obama, Presiden AS ke-44, yang baru saja terpilih, sungguh mempercayai dan dapat membuktikannya, dengan menyatakan Change, We Can Belive In! Perubahan. Itulah yang menjadi ciri fenomena dan kehidupan ini, dan yang memungkinkan konsep waktu mengalir menghadirkan Tahun Baru 2009!

Segalanya berubah bagai arus sungai yang mengalir. Bila filsuf Yunani lainnya, Parmenides (515-440 SM) menyatakan kebalikannya, bahwa yang ada hanyalah ketetapan, maka ketetapan ini pun barangkali hanya mungkin di dalam lintasan perubahan. Seperti arus listrik dalam nyalanya lampu iklan yang bergerak cepat membentuk kesatuan rentetan kata-kata yang sesungguhnya terjadi karena adanya rentetan lampu yang hidup-mati dengan cepatnya.

Perubahan sebagai ciri kehidupan juga diungkapkan Sang Buddha, sebagaimana yang dinyatakannya dalam hukum kesunyataan anicca (tidak kekal), anatta, (tiada substansi yang berdiri sendiri) dan dukkha (fenomena penderitaan sebagai yang tidak memuaskan). Melalui arus perubahan dan ketidak-kekalan serta tiada subastansi diri yang kekal itulah menghadirkan samsara (sejarah eksistensial) manusia melalui reinkarnasi penerusan kelahiran kembali (punarbhava) yang merupakan ziarah manusia dalam menyelesaikan segala sesuatu yang masih belum memuaskan.

Segala yang belum memuaskan memerlukan perwujudannya kembali. Perubahan yang menandai beragam fenomena kehidupan dan menjadi ciri segala apa yang terdapat di alam semesta ini menunjukkan bahwa kehidupan ini adalah suatu proses perwujudan baru yang terus-menerus. Dalam bingkai hukum kesunyataan lainnya, seperti hukum niyama (ketertiban bersyarat), fenomena perubahan atau reinkarnasi itu terjadi baik dalam dunia inorganic (utu-niyama) maupun dunia organic (bija niyama), serta pada ragam dunia kehidupan, baik itu lingkungan budaya maupun lingkungan sosial, baik pada dunia ide (citta) maupun dunia kesadaran (vinnana) serta pada tindakan-tindakan (karma) dan kehidupan bersama manusia.

Dunia sosial pun tak luput dari hukum perubahan. Reinkarnasi sosial terjadi sepanjang sejarah dan peradaban manusia. Dalam perjalanan waktu, manusia hadir, tumbuh dan berkembang dengan kesosialannya menumbuhkan dan memperbaharui sistim-sistim sosialnya. Sistim sosial masyarakat zaman batu beralih menjadi sistim sosial masyarakat zaman perunggu, zaman besi, atau sistim sosial masyarakat agraris yang tumbang berganti sistim sosial industrial, dan sistim sosial feodal, monarki yang beralih ke sistim sosial yang demokratis, serta kehidupan masyarakat yang semakin global dalam jaringan Internet mencairkan sistim sosial yang terpusat dan menghadirkan perwujudan sistem sosial baru hasil interaksi dari beragam sistim sosial.

Segalanya menghadirkan kebaruan. Alam berubah, waktu mengalir, peradaban manusia tumbuh, berkembang dan lenyap. Jutaan sel dalam tubuh mati dan lenyap sepanjang hari sebagaimana manusia yang selalu hadir dan lenyap, lahir dan mati dan bertumimbal lahir bersalin wujud baru dalam ziarah samsara-nya. Lingkungan budaya dan lingkungan sosial manusia berubah, menampakkan pembaharuan dan mewujudkan kehidupan barunya yang merentang dalam aliran waktu yang tak terbatas (amitayus).

Mempercayai perubahan berarti kita tumbuh dalam kehidupan. Menjalani kehidupan berarti berani menatap perubahan yang senantiasa menghadirkan pembaharuan. Karenanya kelahiran kembali (reinkarnasi) itu merupakan suatu perjalanan hidup baru, perjalanan kembali menemukan pembaharuan kehidupan, di mana diri yang tidak ber-substansi kekal itu (anatta) yang tidak memuaskan (dukkha) sesungguhnya adalah tubuh sosial, diri altruis yang mewujudkan tubuh sosial dan berujung pada pembaharuan sosial. Kemanakah arah perwujudan baru dari tubuh sosial masyarakat kita di tahun 2009 ini?

Perjalanan kehidupan dimulai dengan awal baru dalam kondisi yang telah diperbaharui. Layaknya sepasang pengantin yang mendapat ucapan selamat menempuh hidup baru, maka kehidupan sosial-politik, seperti Pemilu 2009 merupakan malam pengantin dari berbagai kelompok sosial dan lapisan masyarakat Indonesia untuk mewujudkan pembaharuan, sebagai suatu momentum peralihan kehidupan atau titik- antara (antarbhava) untuk terjadinya reinkarnasi sosial lahirnya Indonesia Baru.

Dalam konteks perjalanan spiritual manusia, reinkarnasi terjadi sebagaimana juga terjadinya perkawinan dan kematian. Pertemuan dan perpisahan yang merupakan fenomena yang satu bagaikan dua sisi dari satu keping mata uang yang satu dan sama, di mana arus penyatuan (kamma tanha) dan dambaan akan kehidupan baru (bhava tanha) terus berlanjut melalui kerjanya kesadaran penerusan (patisandhi vinnana) dan kesadaran menjelang ajal (cutti citta), yang mempesona terjadinya perwujudan tubuh dan kesadaran baru (nama-rupa) serta lahirnya generasi baru.

Reinkarnasi terjadi dalam mengenakan tubuh baru sebagai ziarah samsara, lingkaran kelahiran yang terus berulang guna menemukan nirvana. Nirvana yang mengatasi segala yang tidak memuaskan (dukkha) dan merengkuh kesempurnaan dalam paradoks dialektika yang menyatukan segaka wujud dualisme; lahir-mati, duka cita-suka cita dalam titik pusat keheningan, kepenuhan dalam kekosongan (sunyata).

Oleh kecerdasannya, manusia yang bijaksana dapat mengarahkan kehidupan dan mengendalikan putaran nasibya.. Namun, seringkali orang yang bebal yang meninggalkan kesadarannya sangat menyandarkan nasibnya pada bintang yang berada jauh di langit tinggi. Namun, apa yang bisa diberikan bintang-bintang itu bila tanpa usaha diri sendiri. Sang Buddha pernah berkata: “kesadaran adalah kehidupan dan kepandaian merupakan bintang keberuntungan kita.”

Dunia ini merupakan suatu fenomena yang tidak abadi. Kita merupakan bagian dari dunia ini dalam suatu segmen waktu yang singkat dan mengalami transformasi tak terbatas. Setiap kata yang ditulis, setiap batu yang dipahat, setiap lukisan artistik, setiap struktur kebudayaan, setiap generasi manusia pada akhirnya akan lenyap, seperti halnya daun gugur di musim semi yang akhirnya akan dilupakan. Namun, karena setiap eksistensi itu tumbuh dalam saling bergantung satu sama lain (pratitya samutpada) dan saling berpenetrasi, maka dalam kelenyapannya itu mereka pun bersintesis menarik unsur-unsurnya satu sama lain dan mengalami reinkarnasi, bertransformasi dan menemukan pembaharuan kembali dalam perwujudannyas yang baru.

Perlu berapa lama kita menjalani hidup? Adakah kehidupan saat ini tidak cukup juga hingga perlu berlanjut pada kelahiran berikutnya? Dikatakan oleh Sang Buddha bahwa nilai kehidupan itu bukan terletak pada panjang pendeknya hidup. Hidup seratus tahun belum tentu sebaik kalau menjadi seorang yang sangat waspada dan sadar, berguna meski dalam sehari. Karenanya bukan waktu masa lalu dan waktu masa depan yang menentukan perubahan, namun kebangkitan kesadaran dan tindakan-tindakan saat inilah yang merangkum dan memberi makna masa lalu serta menentukan masa depan.

Dalam waktu masa kini itulah ada keberadaan dan kehidupan serta terjadi perubahan maupun pembaharuan. Di mana tidak ada perubahan dan pembaharuan maka di situ tidak ada apa-apa, tidak ada kehidupan. Hanya dalam kehidupan saat ini dan di sini yang terus menghadirkan perubahan dan pembaharuan sebagaimana juga tumbuhnya kesadaran yang terus menerus. Karena segala sesuatu yang hidup ada waktunya, maka biarkanlah dia hadir. Kehidupan itu sendiri adalah kesadaran, maka biarkan kesadaran itu bangkit. Kebangkitan kesadaran itulah yang dinamakan Buddha.

Kebangkitan kesadaran (Buddha) yang terentang dalam waktu tak terbatas dan mengalir secara abadi (amitabha)) itu terus aktif berkarya mewujudkan tubuh dharmanya (dharmakaya), menjadi tubuh sosial Bodhisattva. Bodhisattva yang bersifat altruis, penuh damai, kasih sayang dan terus berkarya sepanjang waktu bagi pembebasan makhluk yang menderita tidak lain adalah reinkarnasi sosial pencerahan Buddha. Bodhisattva yang tidak lain adalah diri kita sendiri yang hidup bermakna bagi orang lain dan yang menjadikan kebangkitan kesadaran sebagai kekuatan spiritual untuk menciptakan transformasi sosial, mewujudkan perubahan dan pembaharuan sosial. Selamat Tahun Baru 2009! ***

*) Pengajar pada sekolah tinggi agama Buddha Nalanda, Jakarta.

Dimuat di Majalah TAPIAN Edisi januari 2009

Tidak ada komentar: