Selasa, 30 Desember 2008

Naskah Gadjah Mada Selesai Diterjemahkan



Naskah Gadjah Mada Selesai Diterjemahkan, namun
Tak Ada Dana untuk Menerbitkannya Menjadi Buku



Jumat, 26 Desember 2008 | 00:48 WIB

Mojokerto, Kompas


Kakawin Gadjah Mada. Naskah asli mengenai Gadjah Mada yang tertulis dalam Kakawin Gadjah Mada selesai diterjemahkan ulang. Penerjemahan Kakawin Gadjah Mada yang secara harfiah berarti ’Nyanyian Gadjah Mada’ tersebut memakan waktu satu tahun sepanjang 2007.

Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur I Made Kusumajaya, Kamis (25/12), mengatakan, penerjemahan dilakukan guru besar Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali, Prof Dr I Ketut Riana.Menurut I Made Kusumajaya yang juga Ketua Tim Penerjemahan Kakawin Gadjah Mada, naskah asli itu terdapat dalam 93 lembar daun lontar, yang masing-masing berukuran 3,5 cm x 50 cm. Setiap lembar ditulisi bolak-balik dengan empat baris tulisan, kecuali pada halaman pertama.Sayangnya, tidak diketahui siapa penulis asli Kakawin Gadjah Mada itu. Hingga kini semua koleksi daun lontar tersebut tersimpan di Perpustakaan Lontar Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali.

Lereng Semeru. Aris Soviyani, Kepala Pusat Informasi Majapahit yang turut menjadi anggota tim penerjemahan naskah kuno itu, menyebutkan bahwa memang terdapat sejumlah pengertian yang berbeda dibandingkan dengan naskah sebelumnya. ”Namun, hasil terjemahan ini masih memperkuat dugaan bahwa Gadjah Mada memang berasal dari lereng Gunung Semeru,” katanya.


Dugaan itu, lanjut Aris, karena menjelang ajalnya, Gadjah Mada diketahui menyepi ke daerah Madakaripura, Probolinggo, yang menjadi salah satu bagian dari lereng Gunung Semeru. ”Bahwa Gadjah Mada adalah putra seorang lurah di lereng Gunung Semeru, dan bahwa Gadjah Mada mengucapkan Sumpah Palapa pada tahun 1336 saat mengabdi kepada Tribuana (Tunggadewi) dan bukannya pada masa Hayam Wuruk,” ujar Aris. Namun, baik Made Kusumajaya maupun Aris mengatakan hingga saat ini naskah yang sudah siap tersebut belum bisa dicetak dalam bentuk buku. ”Hingga saat ini belum ada penerbit yang berminat,” tutur Made.Ia menyebutkan, sejumlah instansi pemerintah yang diminta menjadi penyandang dana penerbitan buku bernilai tinggi itu belum memberi tanggapan.



Senin, 29 Desember 2008

Ulos Batak, kekayaan Budaya Batak


Pengrajin Ulos Batak

Sumber http://bersamatoba.com/tobasa/ekonomi/ulos-batak-kekayaan-budaya-batak.html

Inang boru Butar butar Pengerajin ulos di Lumban Gala gala, kecamatan Balige, kabupaten Toba Samosir, propinsi Sumatera Utara, sedang mengerajin ulos Ragu Huting ,”selama dua minggu lamanya sedikitnya tiga ulos siap untuk dikerjakan,” katanya kepada Bersama Toba dot Com , Selasa (20/5) di Huta Lumban gala-gala.
gbrpengrajin.JPG
Dikatakan harga Ulos Ragi Huting sebesar Rp.400 ribu, kemudian menurutnya macam-macam dari ulos adalah seperti Ulos Padang Ursa, Ulos Ragi Harangan, Ulos Bintang Maratur, UlosPinuncaan, Ulos Tumtuman, Ulos Ragi Pakko, Ulos Tutur-tutur, Ulos Pinan Lobu-lobu, Ulos Antahantak, Ulos Ragi Huting, Ulos Suri-suri Ganjang, Ulos Bolean, Ulos mangiring, Ulos Sibunga Ambasang, Ulos Sitolu Tuho, Ulos Simpar, dan Ulos Sibolang Rasta Pamontari.

Semuanya Ulos tersebut diatas dapat dipesan kepada inang boru Butar-butar dengan harga berpariasi, yang berlokasi percis sebelum simpang empat dekat gereja di Huta Lumban gala-gala kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir.




GADIS BATAK: DARI SEKOLAH SAMPAI MEDIATOR MARGA


GADIS BATAK: DARI SEKOLAH SAMPAI MEDIATOR MARGA

Oleh: Haliadi (Unidayan)


Sumber : http://psi.ut.ac.id/



PENGANTAR

Tulisan ini akan membahas kembali dan sekaligus mempertajam penelitian Sita van Bemelen tentang keberadaan gadis Batak pada kurun tahun 1920-1942 yang mendapatkan pendidikan Kolonial Belanda di Hindia belanda sehingga menjadi semacam moderator bagi dua klan yang disatukan dalam suatu pernikahan. Gadis intelektual Batak menjadi penghubung antara dua kelompok marga eksogamus yang patrilineal sifatnya. Menurut pembagian hukum adat yang dilakukan oleh van Volenhoven pada tahun 1933, kebudayaan Batak terletak dalam wilayah hukum adat yang disebut difusi Alas-Gayo dan Batak (Koentjaraningrat, 1975: 90-91). Hal itu menarik karena dalam kekerabatan di manapun cenderung untuk mempertahankan sistem yang sudah lama berlaku ketimbang pemikiran rasionalis yang baru masuk.

Catatan etnologis dari kajian antropologi sejarah Sita van Bemelen yang bertajuk "Educated Toba Batak daughters as mediators in the process of elite formation (1920-1942)" (Sita van Bemelen, 1992: 135-166) menarik dikaji untuk melihat perkembangan gadis batak dalam dinamika perkembangan kebudayaannya pada dasawarsa kedua abad ke-20.

Kajian sejarah gender, utamanya perempuan, masih relatif kurang dibandingkan dengan kajian terhadap peran laki-laki dalam perkembangan sejarah Indonesia. Sejarah perempuan sudah dilansir dalam tulisan Olwen Hufton, Natalie Zemon Davis, Sally Humphreys, Angela V. John, dan Linda Gordon (Juliet gardiner (ed.), 1988: 82-94). Masing-masing penulis itu menyoroti wanita sebagai suatu dinamika kehidupan yang bukan sekadar obyek tetapi pada sisi-sisi tertentu mereka sebagai subyek penggerak jaman. Meskipun demikian dalam kajian gender di Indonesia, wanita tetap dalam lingkupan dominasi laki-laki (Fauzie Rijal dkk., 1993: 49). Dinyatakan oleh Imam Ahmad dalam tulisannya tentang "Perempuan Dalam Kebudayaan" bahwa perempuan tetap masih berada dalam dominasi lelaki. Seperti di Jawa, perempuan selaku the second sex, dalam kalimat "suwarga nunut neraka katut" sama dengan bahagia atau penderiataan istri hanya tergantung peda suami. Dalam tulisan ini akan dilihat peranan gadis intelektual Batak sebagai mediator atas dua klan yang disatukan dalam keluarganya. Klan di Batak sekarang ini sudah mengalami evolusi yang begitu banyak, salah satu desa Kutagamber Batak Karo memiliki 16 Klan dengan 88 sub Klan (Masri Singarimbun, 1967/1974: 124).

PENDIDIKAN DI BATAK

Pada awal abad ke-20, pendidikan merupakan suatu unsur penting sebagai penyebab terjadinya perubahan-perubahan mendasar dalam setiap kehidupan individu maupun kehidupan sosial masyarakat Nusantara. Menurut Joko Suryo bahwa pendidikan itu semacam "peledak" (Djoko Suryo, 1996: 2) terjadinya perubahan jaman. Hal ini merupakan suatu konsekuensi yang dimunculkan oleh politik Etis (baca antara lain Sartono Kartodirdjo, 1977: 35-39; dan Robert van Niel, 1984: 31-36) Hindia Belanda. Perubahan-perubahan itu dapat diperhatikan dalam lokalitas-lokalitas tertentu yang tersentuh oleh pendidikan kolonial yang diterapkan untuk kaum pribumi.

Ada tiga dampak politik etis yang terjadi bagi kaum pribumi di Sumatera Utara, yaitu: pertama, adanya lapisan pekerja masyarakat di perkebunan, pelabuhan dan lainnya, mereka inilah yang disebut kuli; kedua, adanya pekerja kantor pemerintah atau perusahaan yang disebut kerani, yang dipandang sebagai orang terkemuka; dan ketiga, munculnya masyarakat petani maju di daerah pedesaan. Kelompok ketiga ini telah dapat menjual hasil pertaniannya karena pasar sudah ada dengan menggunakan alat tukar berupa uang (Daud Manurung, 1977/1988: 19). Berkembangnya pendidikan di Batak, khususnya menyangkut kaum wanita, memberi pengaruh yang sangat berarti pada relasi gender, seperti menolak kawin paksa, poligami, dan menolak pewarisan hak berdasar garis patrilineal. Semua itu akibat pola pemikiran yang diperoleh melalui pendidikan kolonial model pemikiran Barat.

Pada tahun 1914 HIS (Hollandsch Inlandsche School) atau sekolah dasar Belanda didirikan pertama kali di Tarutung, kemudian menyusul dua HIS tahun 1920 di Narumonda dan Dolok Sanggul. Pada tahun 1927 siswa yang lulus dari HIS meneruskan sekolahnya pada pendidikan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau sekolah lanjutan pertama. Sekolah-sekolah ini banyak mendapat tanggapan baik dari masyarakat. Sebelum ini sesungguhnya sudah ada sekolah seminari oleh Rheinische Missionsgesellschaft, suatu masyarakat misionaris Jerman. Mereka memper-kenalkan sekolah model Barat untuk anak lelaki yang paling pandai untuk pendeta Batak. Pada tahun 1920-an orang berpendidikan seminari dianggap lebih rendah dibandingkan dengan pendidikan Belanda yang baru diperkenalkan itu.

Pada tahun 1930 sekolah swasta mulai didirikan oleh orang Batak sendiri untuk mengisi kesenjangan yang terjadi, yakni jumlah siswa lebih banyak yang mau masuk dibanding dengan daya tampung sekolah Belanda. Di Batak sekolah bukan masalah pribadi semata, melainkan juga masalah marga. Inilah yang mendorong setiap klan memasukkan anak lelaki terbaik mereka dalam pendidikan.

Hal menarik yang dilihat oleh Sita ialah adanya relasi gender yang menyatakan bahwa laki-laki intelektual membutuhkan istri yang intelektual pula. Guru, Pendeta, Pengrajin di workshop milik misionaris di Laguboti lebih memilih gadis-gadis berpendidikan untuk calon istrinya. Kenyataan itu yang mendorong anak perempuan memilih sekolah dari pada hanya sekedar mengantar pupuk kandang ke Ladang. Para lelaki intelek inilah yang menjadi juru bicara di dalam keluarga untuk menyekolahkan para anak gadisnya.

Sejak tahun 1923 asrama missi putri didirikan di Tarutung yang diawasi oleh seorang suster Misionaris Jerman yang terpercaya pada pendidikan Kristen. Pada tahun 1929 para Missi, pria muda berpendidikan dari Batavia, dan Pendeta mereorganisasi tiga sekolah wanita yang ada di Pearaja, Laguboti dan Balige menjadi sekolah-sekolah standard. Sekolah inilah yang diperkenalkan oleh Kolonial Belanda dengan kurikulum enam tahun untuk seluruh Nusantara nantinya. Kemudian tahun 1931 sekolah standard semacam itu dibangun lagi di Butar. Selanjutnya pada tahun 1930 jumlah murid sekolah perempuan itu sudah berjumlah 500 orang murid. Para gadis yang telah menamatkan diri dari HIS hanya menjadi guru bantu di Sekolah Dasar (SD) Missi dan Perawat atau Bidan di rumah sakit missi. Pada tahun 1935 anak gadis yang me-lanjutkan sekolah ke MULO hanya lima orang, sedang murid laki-laki mencapai jumlah 98 orang. Kalau gadis-gadis Batak berkeinginan untuk melanjutkan sekolahnya, maka mereka masuk ke sekolah guru puteri atau sekolah campuran Belanda di Yogya, Salatiga, Bogor, atau Solo. Semua suku di Batak menginginkan kehadiran pemuda atau gadis yang berpendidikan untuk kebanggaan sekaligus dapat menyambungkan kedua suku. Di antara 133 pasangan yang diamati terdapat 74 orang wanita yang menikah dengan pria yang berpendi-dikan tinggi, 52 wanita menikah dengan pria yang berpendidikan relatif sama, dan 7 menikah dengan pria yang berpendidikan rendah. Hal itu menunjukkan bahwa kaum pria sulit mencari pasangan hidup yang serasi dalam artian sesuai dambaan keluarga, dan sebaliknya justru wanita tidak mengalami kesulitan (Sita van bemelen, Ibid.: 151). Hal ini merupakan kenyataan gender bahwa wanita tetap belum sejajar dalam arti kuantitatif di Batak sampai tahun 1930-an.

GADIS INTELEKTUAL BATAK

Menurut Sartono Kartodirdjo, potensi sebagai intelektual dapat direalisasikan antara lain melalui 1) mengidentifikasi situasi serta permasalahannya, 2) menghadapi berbagai gejala dan permasalahannya secara kritis, 3) menginterpretasikan gejala sosio-kultural untuk memberikan maknanya dan 4) mentransendensi realitas kekinian dan membuat proyeksi ke masa depan (Sartono Kartodirdjo, 1984: 60). Pada tahun 1936 Sita van Bemelen dalam karyanya menunjuk perkawinan antara Bu Sinaga dengan seorang dokter muda lulusan sekolah kedokteran di Surabaya. Pernikahan itu terjadi pada tahun 1941. Walaupun mendapat tantangan dari ibu mertuanya karena menginginkan anak lelakinya kawin dengan anak saudaranya, tapi karena anak yang bersangkutan menginginkan istri yang berpendidikan maka pernikahan itu dapat terjadi. Lelaki intelektual itu telah dapat merealisasikan sikap intelektualitasnya dengan memilih gadis berpendidikan sebagaimana yang diimpikan. Pernikahan itu adalah simbol penyatuan berbagai kepentingan intelektual, walaupun secara struktur budaya perkawinan itu juga menghubungkan klan Silindung dengan Samosir. Tidak ada ruginya menyekolahkan anak gadis karena hal itu menambah kesempatan untuk melakukan ikatan keluarga dengan klan yang status sosialnya sejajar untuk mempertahankan lestarinya status marga.

Perkawinan ideal dari kekerabatan Batak adalah antara sepupu (paribun tangkas), tetapi karena pendidikan yang diperkenalkan oleh Belanda maka kaum intelektual lebih berpikir rasional dalam upaya perkembangan kekerabatan. Dalam sampelnya Sita menunjukkan bahwa dalam 17 pasangan, ada tiga kasus perkawinan antara sepupu dan dalam 95 sampel yang lain ada 7 kasus perkawinan antar sepupu. Hal itu memperlihatkan bahwa perkawinan berdasarkan adat setempat telah mulai merosot. Sumbangan pendidikan Kolonial Belanda telah memberikan kontribusi yang memadai dalam perubahan sosial dan perkembangan elit di Batak.

Asumsi dari Sita van Bemmelen terbukti bahwa ada tiga hal yang menarik untuk disimak dalam perkembangan pendidikan di Batak. Pertama, keluarga elit Batak memiliki peluang untuk tetap memperbaiki posisi status keluarganya dengan memberikan pendidikan pada puteri-puterinya; kedua, memberikan pendidikan pada gadis-gadis Batak bukankah merupakan suatu strategi baik jika keluarga mengharapkan ikatan pernikahan dengan keluarga yang status keluarganya tinggi; ketiga, para anak gadis dengan pendidikan mereka dapat meningkatkan dirinya, karena memperkuat posisi tawar yang lebih baik dalam keputusan memilih calon suami (Sita van Bemelen, 1992).

PENUTUP

Pada mulanya gadis Batak tidak mendapatkan pendidikan yang memadai seperti laki-laki, namun karena tuntutan laki-laki Batak, maka mereka berusaha untuk mengikuti pendidikan. Pada tahun 1930 gadis Batak mulai mengikuti pendidikan. Pendidikan inilah yang akan membuat mereka menjadi mediator antara dua klan di Batak dalam ikatan keluarga. Dalam keputusan untuk menikah dengan laki-laki, mereka telah memiliki bargaining position tersendiri dalam tingkatan kekerabatan maupun elit di Batak.

Setelah mereka menjadi ibu dalam keluarga yang dibangun atas prinsip yang diperoleh dari proses pendidikan, mereka menjadi mediator atau penengah antara dua kelompok marga. Marganya sendiri dia berfungsi sebagai hadiah tertinggi bagi marga laki-laki, demikian sebaliknya bahwa dia juga berperan sebagai penyambung hadiah yang datangnya dari mertua. Dari itu gadis Batak yang telah menjadi istri adalah lambang bersatunya dua marga di daerah Batak.

Relasi gender di Batak ditentukan oleh pendidikan yang diperoleh oleh kedua belah pihak. Laki-laki yang memiliki tingkat pendidikan tinggi berusaha mendapatkan gadis yang tinggi pula pendidikannya, demikian juga sebaliknya. Kenyataan itu secara antropologis, menjadikan kedua marga yang mempertahankan adat kebiasaan mengikuti secara latency karena tuntutan tujuan kekerabatan yakni integrasi maupun adaptasi dengan kenyataan pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Bemelen, Sita van dkk. (ed.). (1992). Women and Mediation in Indonesia. Leiden: KITLV Press.

Daud Manurung dkk. (1977/1988). Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Utara. Jakarta: Dep.Dik.Bud.

Djohan Makmur dkk. (1993). Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan. Jakarta: Dep.Dik.Bud.

Djoko Suryo."Pendidikan, Diferensiasi Kerja, dan Pluralisme Sosial: Dinamika Sosial-Ekonomi 1900-1990." Makalah disampaikan pada Kongres Sejarah Nasional Indonesia pada tanggal 12-15 Nopember 1996.

Fauzie Rijal dkk.(ed.). (1993). Dinamika gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Gardiner, Juliet (ed.). (1988). What is History Today? London: Macmillan Education LTD.

Koentjaraningrat (ed.). (1967/1974). Villages in Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press.

Koentjaraningrat. (1975). Anthropology in Indonesia a Bibliographical Review. Netherlands: S'Gravenhage-Martinus Nijhof.

Niel, Robert van. (1984). The Emergence of the Modern Elit. Dordrecht: Foris Publikation/KITLV.

Sartono Kartodirdjo. (1984). "Pelembagaan Politik dan Integrasi Elit Moderen," Prisma No. 8.

Sartono Kartodirdjo, dkk. (1977). Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Minggu, 21 Desember 2008

Tragedi Amir Sjarifuddin


Tragedi Amir Sjarifuddin

Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI



Tanggal 19 Desember 61 tahun silam, Amir Sjarifuddin dan 10 orang lain ditembak di Desa Ngalihan, Solo, atas perintah Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto.

Sebelumnya Amir Sjarifuddin sempat menyanyikan “Indonesia Raya”. Penulis kiri cenderung mengatakan setelah itu mereka juga melagukan Internationale. Adapun kalangan Kristen menambahkan bahwa Amir memegang Alkitab. Amir Sjarifuddin Harahap adalah mantan Perdana Menteri (PM) Republik Indonesia yang dieksekusi oleh bangsanya sendiri tanpa proses pengadilan.

Amir Sjarifuddin (dan Sjahrir) adalah tokoh yang berjasa mempertahankan eksistensi negara Indonesia pada awal kemerdekaan. Tahun 1945–Januari 1948 keduanya menjadi PM.Mereka diangkat untuk menangkis tuduhan Belanda bahwa Pemerintah Indonesia adalah boneka Tokyo karena Soekarno- Hatta berkolaborasi dengan “saudara tua dari Negeri Matahari Terbit”itu.

Sejak November 1945 sampai Januari 1948, Amir Sjarifuddin berturut-turut menjadi Menteri Keamanan Rakyat/Menteri Pertahanan. Saat itu Indonesia berhasil membantu pemulangan ribuan pasukan Jepang dan internir Belanda. Pada awal kemerdekaan, unsur tentara terdiri atas berbagai kelompok terlatih (eks didikan Belanda/ Jepang) dan laskar.

Hatta ingin secepatnya merasionalisasi tentara dari 400.000 menjadi 60.000, sedangkan Amir berpendapat diperlukan masa transisi.Perbedaan kebijakan itu antara lain yang di lapangan memicu timbulnya Peristiwa Madiun 1948 di mana Amir menjadi salah seorang korbannya. Jenjang karier Amir berkebalikan dengan beberapa politisi dewasa ini.

Dia ditahan Jepang dan masih mendekam di penjara Malang sampai 1 Oktober 1945 sebelum dibebaskan dan diberangkatkan ke Jakarta untuk dilantik sebagai Menteri Penerangan. Kalau perjalanan hidup Amir “dari penjara ke kabinet”, yang terjadi di era Reformasi pada beberapa elite politik adalah “dari kabinet ke penjara”. Amir berasal dari keluarga Batak Islam bercampur Kristen.

Kakeknya, Ephraim adalah seorang jaksa beragama Kristen.Ayahnya, Soripada, juga jadi jaksa dan beralih ke agama Islam ketika menikah dengan seorang gadis Batak muslim.Amir sempat menempuh pendidikan sekolah menengah di negeri Belanda mengikuti jejak saudara sepupunya TSG Mulia.Pergaulan semasa di Eropa dan setelah kembali ke Tanah Air tahun 1927 mengakibatkan dia tertarik kepada agama Kristen dan dibaptis tahun 1935.

Dalam bidang politik, dia menjadi bendahara panitia persiapan kongres pemuda II tahun 1928 yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda. Tahun 1931 dia aktif dalam Partai Indonesia (Partindo) yang didirikan Bung Karno. Kemudian ketika tokohtokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir diasingkan Belanda, Amir menggagas Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia).

Organisasi ini cukup maju dalam mendefinisikan kewarganegaraan berdasarkan kediaman (tempat lahir), bukan ras. Tahun 1938–1941 Amir menjadi redaktur majalah sastra Poedjangga Baroe.

Selanjutnya Amir juga aktif pada Gabungan Politik Indonesia (GAPI) bersama-sama dengan MH Thamrin. S e w a k t u menjadi Menteri Penerangan tahun 1945 dia mengeluarkan Maklumat Pers bulan Oktober 1945 yang menjamin kemerdekaan pers. Ini merupakan pernyataan pertama pemerintah tentang kehidupan pers.

Amir Sjarifuddin adalah seorang pemimpin yang memiliki prinsip seperti dikisahkan Fransisca Fanggidae (82 tahun, eksil di Belanda) yang ikut dalam pelarian tahun 1948. Di suatu desa, anak buahnya mengambil buah kelapa milik warga,Amir mengeluarkan tembakan peringatan dan memarahi mereka. “Tentara harus melayani rakyat, bukan mengambil kepunyaan rakyat,”ujarnya.

Peristiwa Madiun

Amir Sjarifuddin Harahap adalah satu dari demikian banyak korban peristiwa Madiun.Dalam buku pelajaran sejarah Indonesia, peristiwa Madiun 1948 dicatat sebagai pemberontakan kaum komunis untuk merebut kekuasaan Soekarno-Hatta. . Buktinya, tokoh penting dalam peristiwa itu,Musso,adalah kader PKI yang baru pulang dari Moskow.

Kini sejarah resmi itu ditinjau kembali. Muncul versi lain misalnya yang beranggapan peristiwa Madiun merupakan persengketaan antara TNI dengan laskar-laskar revolusi lain yang berkelanjutan dengan saling menculik. Anthony Reid (Revolusi Nasional Indonesia,1996) mengatakan bahwa respons pemerintah terhadap peristiwa Madiun tidak sulit dimengerti.

Negosiasi seperti yang diusulkan Sudirman mungkin dapat menyelamatkan banyak nyawa, tetapi dengan ongkos keberhasilan propaganda Belanda bahwa Republik Indonesia tidak berdaya terhadap komunis (1) dan AS mendukung Belanda untuk melakukan agresi (2). Soekarno-Hatta memilih bertindak tegas terhadap kelompok oposisi kiri tersebut.

Dalam buku Harry Poeze, Verguisd en Vergeten,Tan Malaka, De linkse Beweging en Indonesische Revolutien 1945-1949 (Leiden, 2007), peristiwa Madiun 1948 dibahas sebanyak 300 halaman.Poeze menggunakan arsip Komintern di Moskow.

Selama ini dikesankan bahwa itu gerakan lokal yang diangkat Soekarno-Hatta sebagai peristiwa nasional (agar RI dapat dukungan internasional, terutama Amerika Serikat). Menurut Poeze masa itu hierarki dalam partai komunis masih sangat kuat sehingga mustahil kegiatan lokal di Madiun tanpa restu politbiro PKI.

Sebelum peristiwa itu meletus, Setiadjid dan Wikana diutus menemui Soemarsono. Ini berbeda dengan situasi tahun 1965 di mana manuver biro khusus PKI tidak diketahui oleh seluruh pucuk pimpinan partai tersebut. Poeze juga mengulas long march orang-orang kiri pascaperistiwa Madiun yang jarang disinggung dalam sejarah Indonesia.

Tidak kurang dari jarak 500 km ditempuh ribuan orang selama dua bulan dari Madiun ke arah Pacitan, lalu ke utara sebelumnya akhirnya mereka (antara lain Amir Sjarifuddin) ditangkap di perbatasan dengan wilayah yang dikuasai tentara Belanda. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada “Paduka Tuan”Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis, “Saya menjamin keselamatan Pak Djoko.”

Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun. Menurut Soe Hok Gie dalam Orang-Orang Kiri di Persimpangan Jalan (1997), perdebatan apakah peristiwa Madiun merupakan pemberontakan (versi resmi) atau provokasi pemerintah Hatta (versi kiri) tidak menjawab persoalan mendasar.

Yang terjadi sebetulnya adalah ketegangan di tengah masya-rakat (di Pulau Jawa) dalam revolusi nasional karena harapan- harapan yang tidak terpenuhi dan kesulitan ekonomi yang membawa frustrasi.Peristiwa Madiun akan lebih jelas bila dilacak secara multidisiplin dari aspek sosialpolitik (perubahan masyarakat pasca-1942), ekonomi (kehancuran ekonomi setelah perang), budaya (pertentangan Islam-nasionalis, Sunda versus Jawa melalui konflik divisi Siliwangi-Panembaha n Senapati).(* )




http://www.seputar- indonesia. com/edisicetak/ content/view/ 197326/

Kuriawati Hastuti Jadi Peneliti Muda Terbaik


Kuriawati Hastuti Jadi Peneliti Muda Terbaik


JAKARTA--MI:
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menganugerahkan penghargaan Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) Award kepada Kurniawati Hastuti Dewi sebagai Peneliti Muda Terbaik 2008.

"Tahun 2008 bisa dikategorikan sebagai tahun yang istimewa karena kami memilih peneliti muda terbaiknya, di bawah usia 35 tahun, yang hanya dipilih setiap lima tahun," kata Deputi Kepala LIPI bidang IPSK Prof Dr Dewi Fortuna Anwar di Jakarta, Kamis.

Yang lebih istimewa lagi, lanjut dia, pemenang yang dipilih secara ketat dengan berbagai kriteria itu adalah seorang perempuan.

Kurniawati Hastuti yang menerima IPSK Award dari penelitiannya berjudul Konflik Antarelit Politik Lokal dalam Pemilihan Kepala Daerah: Kasus Maluku Utara, Jawa Timur dan Kalimantan Tengah itu baru berusia 30 tahun dan akan segera meraih gelar Doktor dari Kyoto University Jepang.

Dewi menambahkan, keistimewaan tersebut bertambah dengan dianugerahkannya penghargaan IPSK Award kategori Hasil Penelitian DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) 2007 terbaik yang ketiga pemenangnya juga perempuan.

Mereka adalah Dr Ninuk Kleden Probonegoro dan timnya dengan judul penelitian Identitas Etnolinguistik Orang Hamap: Perubahan dalam Divergensi dan Konvergensi sebagai Terbaik pertama.

Posisi Terbaik Kedua diraih Prof Dr Jusmaliana ME dan timnya dengan judul Kajian Teori Ekonomi: Investasi yang Islami.

Sedangkan Terbaik Ketiga adalah Jaleswari Pramodhawardani MSi dan timnya dengan judul Perlindungan Hukum terhadap Pengiriman Buruh MigranPerempuan Indonesia ke Malaysia. (Ant/OL-06)
http://mediaindones ia.com/ index.php?ar_ id=NTE0Mzk=

Senin, 15 Desember 2008

Wayan Sunarta


Tradisi Metuakan di Karangasem

Oleh: Wayan Sunarta

Pada sebuah sore yang indah, di sebuah warung tuak di Karangasem, sekelompok orang tua duduk melingkar beralaskan tikar. Di tengah-tengah lingkaran terhidang lima botol tuak, sate babi, lawar dan camilan lainnya. Sambil meneguk tuak, mereka tampak asyik bercengkerama tentang padi-padi yang mulai panen, tentang kesibukan para caleg mengobral janji-janji membela rakyat jelata, tentang situasi desa, dan sebagainya.

Para orang tua itu hampir setiap sore datang ke warung tuak langganannya. Mereka bukan hanya melampiaskan keinginan minum tuak, namun juga kebutuhan bertemu teman-teman sebaya dan ngobrol berbagai hal yang menarik dibicarakan. Secara tidak tertulis mereka telah membuat semacam sekehe metuakan, kelompok minum tuak.

Seringkali acara metuakan telah menjadi semacam forum tidak resmi yang menampung berbagai aspirasi yang tidak tersalurkan pada lembaga-lembaga resmi. Berbagai macam unek-unek, keluh kesah, kritik, gosip, dan obrolan tentang berbagai pokok persoalan yang nyangkut di pikiran mereka menemui pelepasan dalam forum yang penuh aroma alkohol tersebut.

Tuak dibuat dari sadapan air bunga pohon jake (enau), nyuh (kelapa), dan ental (lontar/siwalan) . Dari sana muncul istilah tuak jake, tuak nyuh dan tuak ental. Tuak jake banyak dibuat di Tenganan, Gumung dan Bebandem. Tuak Nyuh dibuat di daerah yang banyak pohon kelapanya, seperti Pikat, Pidpid, Gunaksa. Sedangkan tuak ental dikenal di daerah yang banyak ditumbuhi pohon ental, seperti Merita, Culik, Tianyar, Kubu. Tuak jake lebih terasa enak, bersifat netral, proses dalam tubuh cepat dan sering kencing. Tuak Nyuh kadar alkoholnya lebih keras dari tuak jake, peminum umumnya cepat merasa pusing. Sedangkan tuak ental lebih berat kadar alkoholnya dibanding tuak nyuh, rasanya lebih gurih, cepat membuat mabuk. Secara umum orang-orang Karangasem lebih menggemari tuak jake.

Proses membuat tuak jake sangat lama, bisa memakan waktu sampai 21 hari. Dimulai dari ngayunan, bunga jake diayun-ayun sampai satu jam. Kemudian dilanjutkan dengan proses notok, batang bunga jake dipukul-pukul berulang-ulang setiap hari selama satu jam dan berlangsung sampai dua minggu. Setelah dirasa cukup umur, maka dilanjutkan dengan nimpagang, mengiris batang bunga dan mengecek ada air atau tidak pada bunga jake itu. Kemudian dilanjutkan dengan nadah, batang bunga jake disadap dengan brengkong, wadah yang dibuat dari pelepah pohon pinang. Satu batang bunga jake bisa menghasilkan satu brengkong setiap kali menurunkan tuak yang dilakukan dua kali dalam sehari, yakni pagi dan sore. Kalau lagi untung dalam sehari bisa mendapatkan dua jerigen (isi 8 botol) tuak. Dan satu pohon jake bisa menghasilkan tuak hingga tiga bulan. Pada prinsipnya proses mencari tuak nyuh dan ental hampir sama dengan tuak jake.

Tuak yang baru turun dari pohonnya akan terasa manis. Maka untuk membuat rasanya lebih gurih, tuak dicampur dengan ramuan khusus yang disebut lau.. Secara umum lau berpengaruh pada rasa dan kadar alkohol tuak. Lau yang paling bagus diolah dari babakan (serbuk) kayu pohon kutat dicampur dengan serbuk kulit pohon cabe tabia bun. Kalau cara mengolah lau kurang pas, maka tuak akan terasa kecing atau masam.

Berbeda dengan arak, tuak tidak berumur panjang. Tuak paling enak diminum ketika baru diturunkan dari pohonnya. Orang Karangasem mengenal rasa tuak yang nasak badung, rasanya lebih tawar dan agak masam, namun masih bisa diminum. Ada tuak yang rasanya lebih netral, tidak terlalu tua dan tidak terlalu masam, dan masih enak untuk diminum. Tuak jenis ini disebut semedah. Tuak wayah adalah tuak yang telah tersimpan satu sampai dua hari. Kalau tuak telah tersimpan dua sampai tiga hari disebut tuak bayu. Dan tuak yang tersimpan lebih dari tiga hari akan menjadi cuka.

Di Karangasem, alat untuk menampung atau minum tuak bermacam-macam jenisnya. Untuk menampung tuak dari pohonnya dipakai brengkong dan kele (bumbung bambu ukuran besar dan panjang). Sebelum morong populer, dahulu orang menyimpan tuak menggunakan cekel, bumbung bambu agak besar lengkap dengan tutupnya dan di ujung atasnya terdapat saluran yang dibuat dari buluh bambu kecil. Agak mirip dengan cekel disebut ganjreng dimana saluran tuaknya terletak di bawah/dasar wadah. Untuk tempat minum tuak dipakai bumbung (gelas bambu ukuran sedang, setara dengan gelas jus), dasar (cawan dari kau atau batok kelapa), dan beruk (cawan ukuran sedang dari kau atau batok kelapa). Nama wadah tuak ini sering berbeda-beda di tempat lainnya di Bali. Sekarang, untuk kepraktisan, wadah tuak tradisional itu diganti dengan jerigen, morong, botol dan gelas.

Sekehe-sekehe metuakan dengan mudah bisa ditemui di sudut-sudut jalan pedesaan di Karangasem. Mereka membuat kelompok berdasarkan pertemanan, biasanya berjumlah antara 3-5 orang. Anggota baru agak susah bergabung ke dalam kelompok karena harus mampu beradaptasi dan mempelajari karakter kelompok. Pada saat metuakan, orang-orang tua berkelompok dengan sesama orang tua, anak-anak muda membuat kelompok dengan teman-teman sebayanya. Jarang ditemui kelompok campuran, antara anak muda dan orang tua. Karena kelompok campuran biasanya akan kesulitan pada saat ngobrol atau diskusi. Obrolan anak-anak muda terkadang tidak nyambung dengan obrolan orang-orang tua.

“Dalam membuat sekehe, kami mengajak kawan-kawan akrab yang kami sudah tahu tabiat dan tingkatan mabuknya. Kami sangat menghindari peminum yang suka bikin onar saat mabuk. Kami metuakan bukan untuk cari ribut, melainkan untuk kumpul-kumpul dengan teman-teman dan menghilangkan stress,” ujar Made Kaler, seorang peminum dari Jungsri, Bebandem.

Namun seringkali sekehe metuakan juga disusupi kader-kader partai politik pada saat musim-musim kampanye. Tujuannya jelas untuk mencari massa. Kader-kader partai politik ini biasanya mentraktir anggota sekehe minum tuak sepuas-puasnya. Di pertengahan acara minum, kader partai mengarahkan obrolan kepada soal-soal partai, janji-janji partai, dan buntutnya sekehe diharapkan memilih dirinya. Untuk masuk dan bisa diterima dalam sekehe metuakan, tentu kader-kader partai harus mampu beradaptasi dan memilih sasaran secara tepat. Karena tidak semua sekehe metuakan mau mendengar ocehan para kader partai atau caleg yang sekarang berlomba-lomba mencari massa.

Tradisi metuakan di Karangasem sudah terkenal sejak dahulu. Karangasem merupakan penghasil tuak terbesar di Bali. Hampir di setiap desa bisa dijumpai warga yang berprofesi sebagai pembuat tuak dan pedagang tuak. Bahkan tuak itu dikirim dan dijual hingga ke daerah-daerah lain, termasuk Denpasar. Karangasem juga dikenal dengan kesenian Genjek dan Cakepung dimana peranan tuak sangat penting dalam kesenian tersebut. Para pemain Genjek dan Cakepung bergiliran minum tuak sambil menyanyi dengan musik mulut dan menari-nari di tengah lingkaran. Kesenian ini sangat semarak dan penuh dengan nuansa pesta pora.

Sekehe metuakan biasanya memiliki aturan-aturan tertentu yang disepakati bersama diantara anggota sekehe. Aturan-aturan tak tertulis ini terkadang berbeda-beda antara sekehe satu dengan lainnnya, atau antara daerah satu dengan lainnya. Ada aturan yang mewajibkan masing-masing anggota sekehe membawa tuak dari rumah sesuai kemampuan dan keperluan minum.. Kalau tempat berkumpulnya di warung tuak, anggota sekehe akan patungan membeli tuak. Terkadang ada anggota sekehe yang mentraktir kawan-kawannya minum tuak. Di Karangasem, harga sebotol tuak sekitar Rp.1500. Dalam acara metuakan, satu kelompok yang terdiri dari 5 orang bisa menghabiskan 10 botol tuak, bahkan terkadang lebih.

Acara metuakan diatur oleh seseorang yang biasa disebut bandar. Bandar bertugas menuangkan tuak ke dalam gelas dan membagikan secara bergiliran kepada anggota sekehe. Kadangkala kalau terjadi diskusi atau perdebatan, bandar juga bertugas menjadi moderator. Anggota sekehe minum secara bergiliran dengan menggunakan satu gelas. Penggunaan gelas secara sendiri-sendiri tidak diperkenankan. Dan bahkan bisa memunculkan ketersinggungan dari anggota sekehe lainnya. Apalagi kalau ada anggota yang baru bergabung, lalu minum tuak menggunakan gelasnya sendiri, dianggap egois dan tidak tahu aturan minum. Anggota baru ini bisa membuat perasaan anggota sekehe lain tidak enak. Penggunaan satu gelas secara bersama-sama dianggap sebagai bentuk rasa solidaritas dan memupuk kebersamaan dan kekeluargaan di antara anggota sekehe.

“Aturan lain, cara meminum tuak harus sekali minum. Kalau ada orang minum tuak seperti minum kopi, pelan-pelan dan sedikit-sedikit, orang itu biasanya akan jadi bahan olok-olok,” kata Ketut Gingsir, pemuda yang suka nongkrong di warung tuak di Ababi, Karangasem..

Menurut Made Adnyana, seorang sesepuh desa Ababi yang hobi minum tuak, dalam metuakan ada delapan urutan minum yang dikaitkan dengan tingkat kemabukan. Secara umum hitungan minumnya adalah bumbung atau gelas.

Pertama, Eka Padmasari, peminum baru mulai minum tuak. Satu bumbung untuk tegukan pertama. Aliran tuak terasa nyaman dalam tubuh, apalagi diselingi obrolan-obrolan ringan dan bersenda gurau. Acara minum tuak masih diliputi semangat kebersamaan dan kekeluargaan.

Kedua, Dwi Angemertani, peminum mengangkat bumbungnya yang kedua. Pada tahap ini tuak merupakan amerta, air kehidupan. Biasanya setiap sore orang-orang tua akan menyuruh anak atau cucunya membeli tuak satu botol untuk diminum sehabis makan nasi. Minum satu atau dua gelas tuak menjadi penyempurna perut yang kenyang. Pada tingkatan ini tuak tidak membuat mabuk.

Ketiga, Tri Raja Busana, peminum sudah menenggak 3 bumbung tuak. Pada tahapan ini tanda-tanda awal mabuk sudah kelihatan. Wajah menjadi bersemu merah. Peminum mulai berlagak dan bertingkah seperti raja, main perintah sana-sini. Bahkan gaya duduknya sudah kayak sikap raja.

Keempat, Catur Kokila Basa, ini tahapan ketika peminum sudah meneguk 4 bumbung tuak. Tingkah lakunya sudah seperti burung kutilang, banyak berkicau. Jika mau mengorek rahasia seseorang bisa dimulai pada tahapan ini. Semua rahasia yang sebelumnya tersimpan rapat akan dibeberkan dengan tanpa beban oleh si peminum yang agak mabuk. Omongan ngelantur ke sana-sini. Acara minum menjadi ramai. Kadang kala omongan si peminum kebablasan sehingga membuat teman jadi tersinggung.

Kelima, Panca Wanara Konyer, tahap dimana peminum sudah menghabiskan 5 bumbung tuak. Kepala sudah mulai pusing. Namun nafsu minum masih bergejolak. Ingin nambah terus. Pada tahap ini perilaku peminum seperti monyet yang lincah, nakal dan usil. Perilaku aneh-aneh juga muncul, seperti menari-nari sendiri, ngoceh tidak jelas, atau kebut-kebutan menyerempet bahaya di jalan. Kalau acara metuakan diikuti lebih dari lima orang, maka tembang-tembang genjek makin berkumandang menambah semarak suasana minum. Pada tahap ini, kadangkala terjadi pertengkaran kecil di antara peminum karena persoalan-persoalan sepele. Alkohol telah mengacaukan syaraf.. Kata-kata yang terlontar menjadi tidak terkendali.

Keenam, Sad Wanara Rukam, peminum sudah memasuki tahap bumbung keenam. Perilakunya seperti monyet kena sampar atau penyakit, lebih banyak duduk diam dan mengkerut. Selera usil dan iseng perlahan mereda. Alkohol sudah memenuhi aliran syaraf. Kepala semakin pusing. Peminum terlihat lebih banyak melamun dan tidak banyak bicara.

Ketujuh, Sapta Ketoya Baya, bumbung ketujuh telah diteguk. Inilah tahap yang rawan baya (bahaya). Saat dimana kadar alkohol dalam tubuh dengan mudah bisa mendatangkan malapetaka. Keributan dan perkelahian dengan mudah meledak di antara peminum. Perilaku mabuk yang aneh-aneh pun bermunculan. Yang paling parah adalah mengamuk gelap mata. Endapan-endapan emosi meledak, menemui pelepasan.

Kedelapan, Asta Kebo Dangkal, peminum sudah memasuki bumbung kedelapan. Peminum sudah benar-benar melampaui ambang mabuk. Pikiran sehat jadi macet total. Pada tahap ini banyak peminum yang tergeletak di sembarang tempat, tidur mendengkur seperti kerbau (kebo).

“Paling sehat adalah minum satu sampai dua gelas tuak sehabis makan. Namun yang lebih sehat lagi tidak minum tuak. Cukup air putih saja,” ujar Made Adnyana sembari ketawa.

Memang, lebih sehat tidak minum tuak. Apalagi minum tuak dengan satu gelas beramai-ramai. Kuman atau virus penyakit menular dengan mudah berpindah tempat melalui bibir gelas. Namun, siapa yang peduli kuman atau virus kalau sedang “on” alias mabuk? ***


(Versi pendek dalam Bahasa Inggris pernah dimuat di The Jakarta Post, Kamis, 11 Desember 2008)

Sumber http://jengki.com/biodata-jengki/

Kepuasan Batin Ilmuwan dan Peneliti

Kepuasan Batin Ilmuwan dan Peneliti
Minggu, 23 November 2008

PARA ilmuwan atau peneliti punya tugas utama mengembangkan ilmu pengetahuan. Kepuasan datang ketika penelitian atau karya mereka diakui.

Dua hal itu menjadi motivasi utama Djedi S Widarto, Phd, mantan Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia( LIPI),yangkemudianmengabdikan diri ke Pertamina.

’’Sebuah kepuasan tersendiri jika kita tahu kalau penelitian kita itu diakui oleh dunia internasional. Bahwa penelitian kita dijadikan rujukan oleh para ilmuwan lain yang berada di belahan dunia yang lain. Benar-benar menyenangkan,” kata Djedi. Djedi boleh dibilang salah satu pionir dalam pengembangan bidang Geofisika Elektromagnetik.

Salah satu penelitian yang mengukuhkan dirinya sebagai pionir di bidang ini adalah memanfaatkan pengukuran gelombang elektrokmagnetik alam untuk mempelajari struktur di bawah permukaan bumi.

Pengakuan dunia internasional atas kiprah Djedi bisa dilihat dari masuknya dia sebagai satu-satunya ilmuwan asal Indonesia, juga Asia Tenggara, yang menjadi anggota Electro Magnetic Studies on Earthquake and Volcanoes (EMSEV), sebuah organisasi ilmuwan Geofisika Elektromagnetik bergengsi yang berpusat di Paris,Prancis.

Berkat penelitiannya itu, Djedi yang merupakan alumni Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) itu, dinobatkan sebagai salah seorang dari tiga orang peneliti terbaik Indonesia oleh Kementerian Riset dan Teknologi. Penghargaan itu diberikan pada tahun 2006 lalu dan diserahkan langsung oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.

Secara sederhana, apa yang dilakukan lelaki berusia 49 tahun itu adalah melakukan sebuah aktivitas di atas tanah untuk mengetahui apa yang ada di dalam tanah.Jadi, tidak perlu susah-susah menggali atau mengebor untuk tahu apa yang ada di bawah tanah. Dengan penelitian ini, misteri bawah tanah bisa didapatkan dengan cara yang lebih efektif dan efisien.

’’Jadi, dengan penelitian yang saya lakukan, kita bisa tahu kandungan mineral atau energi yang ada di dalam bumi. Apakah itu mengandung minyak,panas bumi,atau gas. Juga kita bisa tahu apakah di dalam tanah itu ada air, atau kandungan mineral lainnya, seperti tembaga, perak atau yang lainnya,”ujarnya.

Djedi, yang mendapatkan gelar master untuk Geofisika Eksplorasi dari Waseda University di Tokyo, Jepang itu, melakukan penelitian dengan mengukur gelombang elektromagnetik alam dengan menggunakan alat sensor yang disebut Magneto Teluric System.

Hasil pengukuran itu kemudian dimasukkan dalam komputer. Dengan menggunakan beberapa program tertentu, data itu kemudian diolah dan disimulasikan dalam bentuk dua atau tiga dimensi.Dari sana,kemudian akan diketahui nilai tahanan jenis batuan.Besar kecil nilai tahanan jenis batuan ini berkorelasi dengan endapan mineral dan energi ada pada batuan yang ada di bawah permukaan bumi. Jadi, dengan itu, bisa diketahui apa yang ada di perut bumi.

Selain bisa mengetahui mineral dan energi yang ada di bawah permukaan bumi,apa yang dilakukan Djedi juga bisa untuk mengetahui perkembangan magma yang ada di perut gunung,juga patahanpatahan bumi. Deteksi dini terhadap dua hal itu,berguna sekali untuk melakukan langkah- langkah antisipasi dalam urusan gempa bumi.

Djedi, yang mendapatkan gelar Phd dari Kyoto University Jepang untuk Geofisika Terapan ini, mengungkapkan, apa yang dilakukannya ini telah mulai dilakukan di Prancis sejak 1953. Namun, baru sekitar lima tahun belakang, hal itu mulai berkembang di Indonesia.Keterlambatan ini, papar Djedi, disebabkan bahwa Indonesia baru punya ahli di bidang ini pada pertengahan tahun 1990.

Keterlambatan itu juga, lanjut Djedi, juga disebabkan mahalnya peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian seperti yang dilakukannya. Satu set peralatan untuk melakukan penelitian itu harganya mencapai Rp1-1,5 miliar. Sejauh ini, baru sekitar empat institusi saja (LIPI,Pusat Survei Geologi, Pusat Sumber Daya Geologi dan Elnusa) yang memiliki peralatan ini.

Djedi mengaku, untuk menjadi peneliti yang bagus dan diakui oleh dunia, para peneliti itu harus terus memperbaharui pengetahuan dari berbagai macam sumber. Diperlukan juga membangun kerja sama dengan para penelitilain.

Dan yang tidak boleh dilupakan adalah bagaimana membuat publikasi yang bermutu atas penelitian yang dilakukanagarbisamasukdalam terbitan ilmiah yang bergengsi dan berwibawa. Salah satu hambatan bagi peneliti adalah penghargaan, terutama renumerasi terhadap para ilmuwan yang belum memadai. (helmi firdaus)


Sumber : Seputar Indonesia (22 November 2008)

Franz Magnis-Suseno SJ

PAULUS MENEGUR PETRUS

oleh Franz Magnis-Suseno SJ *)

Dalam surat kepada umat di Galatia, Paulus menceriterakan bagaimana ia menegur Petrus (Gal. 2 : 11 ). Waktu Petrus berkunjung ke Antiokia, ia semula bergaul enak dengan umat di sana – padahal mereka tidak disunat karena berasal dari masyarakat non-Yahudi. Sejak Petrus membaptis Cornelius, perwira pasukan Romawi, di Cesarea, ia mengerti bahwa untuk dibaptis orang tidak harus menjadi Yahudi lebih dulu. Tetapi, kemudian datang orang-orang Kristiani Yahudi konservatif dari kalangan rasul Yakobus, kepala umat Kristiani-Yahudi di Yerusalem. Mereka menegur Petrus: Kok Anda makan dengan orang tak bersunat. Petrus lalu berhenti bergaul dengan saudara-saudari Kristianinya yang tak bersunat.


Itu yang membuat Paulus marah. Ia menganggap Petrus munafik. Di depan umat, ia menegur: „Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi (karena kemunafikan adalah tanda jauhnya dari jalan Tuhan, jadi „kafir“, FMS), bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudari kafir untuk hidup secara Yahudi?“


Apakah tepat Paulus menegur Petrus di depan umat? Bukankah Yesus mengajarkan bahwa „saudara yang berbuat dosa“ harus lebih dulu ditegur „di bawah empat mata,“ lalu bersama „dua orang lagi,“ dan baru „jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat?“ (Mat : 18 :15 )


Tetapi, kasus Petrus lain. Petrus bukan sembarang saudara yang berdosa. Ia adalah rasul paling utama, „batu karang“ Gereja (Mat. 16 : 18). Kemunafikan seorang tokoh akan memberi sandungan umum dan bisa menyesatkan umat. Karena itu Paulus menegurnya secara terbuka. Sebagai pemimpin Gereja, Petrus adalah pribadi publik, dan karena itu perlu dikritik secara publik kalau ia dalam kelakuannya menyangkal bahwa kita diselamatkan karena percaya dan bukan karena menaati Taurat.


Mengambil sikap yang tidak setia pada Injil karena takut pada manusia terlalu sering terjadi dalam Gereja. Kita tidak mau membuat kesan jelek pada orang-orang berpengaruh, kita takut konflik, kita tidak berani mempertahankan sikap yang benar,–padahal kita pemimpin. Keberanian merupakan keutamaan hakiki bagi orang yang mengikuti Yesus. Keberanian tidak hanya berhadapan dengan mereka di luar yang memusuhi kita, melainkan juga di dalam. Berani melawan pendapat umum, kemarahan massa, prasangka yang masih dianut oleh suatu masyarakat. Demi Kristus kita harus berani melawan arus.


Masalah sikap Petrus bukan bahwa ada perbedaan pendapat dalam Gereja. Keyakinan Petrus bahwa orang tak harus disunat sebagai syarat untuk boleh dibaptis, dan bahwa di hadapan Allah semua orang sama-sama bersih sudah resmi diakui oleh para rasul dalam konsili mereka di Yerusalem (Kis 15). Yakobus pun waktu itu sudah setuju bahwa orang tak bersunat bisa dibaptis tanpa harus disunat terlebih dahulu. Jadi, masalahnya sudah selesai. Tetapi, masih ada kalangan Kristen eks Yahudi yang tidak setuju, dan rupa-rupanya berpengaruh. Terhadap mereka seharusnya Petrus tidak mundur, seharusnya ia tetap bergaul tanpa ragu-ragu dengan saudara dan saudari Kristiani yang eks-kafir. Paulus harus menegur Petrus keras-keras untuk menghilangkan keragu-raguan tentang penebusan yang dibawa Yesus.


Maka dalam Gereja kata terbuka mempunyai tempat dan haknya. Dan para pimpinan Gereja, para gembala, tidak boleh menindasnya, misalnya dengan alasan ketaatan terhadap ajaran Gereja. Akan tetapi, kritik harus juga memenuhi syarat. Bukan hanya kritik harus beralasan. Melainkan juga harus, biarpun keras, rendah hati. Kritik tidak boleh arogan. Tidak boleh memaksa atau pun mengancam, dan siapa yang mengritik, harus juga mau dikritik sendiri.


Yang sering terjadi bukanlah kritik terbuka, melainkan bahwa orang tidak berani mengritik yang bersangkutan, tetapi grundelan di belakang. Lalu, dalam umat terbentuk klik-klik yang akhirnya akan menghasilkan perpecahan. Bersungut-sungut dari belakang adalah sikap yang tidak pada tempatnya sama sekali dalam Gereja. Juga sikap aku sok benar sendiri. Sekali lagi, bukti bahwa kritik tidak berpamrih adalah kerendahan hati.


Suatu budaya keterbukaan di mana kita kalau perlu menyatakan pendapat kita, dan kita didengarkan, tetapi kita juga sadar bahwa kita sendiri tidak memonopoli Roh Kudus, jadi kita tetap rendah hati, dan juga bersedia untuk menarik kembali pendapat kita, kalau ternyata tidak tepat, itulah yang harus kita bangun dalam umat-umat kita. Kata terbuka dalam kejujuran dan kasih itu menciptakan suasana yang segar, positif, bersemangat, tidak memukul, tidak merendahkan, tidak menghilangkan semangat.


Untuk membangun sikap itu kita memerlukan kematangan dalam Roh Tuhan. Tanda kematangan itu adalah bahwa kita tidak mau menang sendiri. Keberanian, keterbukaan, kerendahan hati dan cinta pada Gereja, itulah sikap hati daripadanya kehidupan umat yang terbuka dan selalu mau mengoreksi diri terbangun. ***

*) Rohaniawan dan budayawan



Telah Dimuat di Majalah TAPIAN Edisi Desember





Rabu, 03 Desember 2008

Maaf, sekedar promosi ya.

SALAM TAPIAN

Desember sama dengan Kelahiran. Dengan K besar, untuk mengingatkan kita pada Roh yang Kudus. Kelahiran dan proses tumbuh menjadi besar dan dewasa identik dengan Ibu, kaum perempuan sanjungan kita semua! Dalam tatanan budaya etnis tertentu, yang tak kenal kata tawar, peran Ibu bisa bukan apa-apa. Mereka seperti dilahirkan hanya untuk mengabdi kepada keluarga. Pelayan! Dalam pengertian kata itu yang sesungguhnya, mereka bisa membanting tulang untuk membesarkan dan menyekolahkan anak-anak yang mereka lahirkan. Dan jika martabat keluarga membubung tinggi, karena upaya perempuan, ironisnya yang dikenang orang dengan cepat justeru ”sang suami.” Tanpa pamrih, belum merupakan ungkapan yang pas untuk kebajikan hidup kaum Ibu.

Di bulan Desember ini manusia yang menjadi junjungan kita itu dirayakan secara nasional dalam Hari Ibu. Untuk menghormati kaum Ibu, melalui rubrik Sudut Pandang, TAPIAN menurunkan sebuah laporan tentang perempuan-perempuan ”perkasa” yang tidak saja mengayomi keluarga mereka, tetapi juga memuliakan masyarakat dan lingkungan. Wartawan majalah ini, yang jumlahnya terbatas, menongkrongi Ibu-Ibu yang merawat Bumi dengan berjuang untuk mempertahankan kehidupan bakau sebagai pelindung pantai kehidupan. Rekan kami juga berpeluh mengikuti seorang Ibu yang bekerja sebagai tukang panggul, untuk menyebutkan satu-dua di antara Ibu-ibu yang dahsyat tersebut. Laporan ini tentu masih jauh dari memadai. Dan terasa, maaf, terlalu Jakarta sentris. Sebab, kita tak boleh lupa, ada perempuan yang bekerja sebagai kenek dan tukang becak dayung di Medan. Mungkin juga pekerjaan lain, yang belum kita dengar dan tak pernah terlintas di benak kita. Tulisan perempuan-perempuan perkasa dari etnis batak ini kami beri judul, ”Boru-Boru Batak Inspirasi Kita Semua.” Tulisan ini juga di analisis oleh seorang psikolog yang sering melakukan pengamatan mengenai semangat ”survival” yang dimiliki oleh kaum perempuan. Frieda Mangunsong memberikan penjelasan tentang hal itu.

Dalam rubrik Legenda kami tampilkan Malin Kundang Batak, ”Sampuraga.” Disajikan dalam tulisan ”Kolam Sampuraga Tempat Memuja Kemuliaan Kaum Perempuan, Ibu Kita Semua.” Ada pula uraian (Kritik) yang kritis mengenai kaum perempuan yang selalu dijadikan tumbal untuk merebut kekuasaan. Bagaimana rezim fasis Suharto, dengan licik membohongi publik, menuduh perempuan menyileti kemaluan para jenderal yang terbunuh dalam peristiwa G30S, sebagai bagian dari upaya untuk menyusun kekuasaan baru di negeri ini, hampir setengah abad yang lalu. Tulisan berjudul ”Merumuskan Kembali Keindonesiaan” ini merupakan ringkasan naskah dari pidato kebudayaan yang disampaikan oleh I Gusti Agung Ayu Ratih.

Sekarang ini, terutama di kota-kota besar, tak sedikit anak-anak dari kaum Ibu kita yang bisa menikmati hidup yang berbunga-bunga. Tapi, tak kurang jumlah mereka yang papa sengsara, bagi siapa sesuap nasi adalah sebuah harapan yang begitu jauh. Yang terkadang harus dibayar dengan nyawa. Seorang rohaniawan yang selama bertahun-tahun berjuang untuk meningkatkan derajat anak-anak, dan tanpa pamrih hidup bersama mereka, menulis tentang hak-hak anak yang hilang sementara Negara tak kunjung datang untuk mematuhi janji kesejahteraan dan harga diri buat mereka, sebagaimana yang diharuskan konvensi internasional di mana Indonesia menjadi pihak. Semua tertuang melalui tulisan I Sandyawan Sumardi (Romo Sandy) yang menyatakan ”Nyanyian Jiwa Merdeka.”

Tak henti-hentinya juga kami menyajikan rubrik spiritualitas yang berupaya menyajikan bahan-bahan refleksi demi peningkatan kualitas rasa kebersamaan dan kemanusiaan di Indonesia. Kali ini Franz Magnis Suseno (Romo Magnis) menyampaikan bahwa kritik harus disampaikan secara elegan, semua tertuang dari pesan yang disampaikannya dalam perumpamaan “Paulus Menegus Petrus”.

Ngomong-ngomong, apa kabar kampung halaman? Ada tujuh kabupaten yang saling bersinggungan dengan Danau Toba. Malah, ketujuh kabupaten seperti menyusu ke Danau Toba. Tetapi, mereka kelihatannya saling ”marbada.” Begitu sulitkah bersinergi untuk bangun dan maju bersama?

Di rubrik musik, kami perkenalkan Ucok Munthe. Belum punya nama yang melambung, memang, namun dia punya obsesi yang konsisten untuk menulis dan memainkan rima dalam musik hip-hop, dengan menyerap pola pantun maupun gurindam. Sementara Om Galung dengan setia mengajak Anda untuk menelaah studi permainan akhir, sambil bersitatap dengan bidak-bidak di papan catur.

Dan tak lupa, kami, seluruh karyawan/karyawati majalah TAPIAN mengucapkan selamat HARI NATAL dan TAHUN BARU 2009. Tombak ni Sipinggan di dolok ni Sitapongan/ Didia pe hita tinggal, sai tong ma hita masihaholongan. Di mana pun kita tinggal, kita tetap saling mengasihi.




Majalah TAPIAN,

Kami berangkat dari budaya batak menuju budaya untuk kemanusiaan.

Dengan semangat keberagaman dan toleransi antar setiap etnis

Dalam terus merawat “Bhinneka Tunggal Ika”

Senin, 01 Desember 2008

"Siapa Mengkhianati Sisingamangaraja XII ?" (TAPIAN Edisi November 2008)

Maaf sekedar informasi sekaligus promosi

Salam TAPIAN

Bagi masyarakat Batak, Sisingamangaraja XII adalah heroisme sekaligus spiritualisme. Mereka bangga mengenang Baginda Raja yang bisa bertahan sampai 30 tahun dalam memerangi sang penjajah bermata putih, sibottar mata. Belanda! Raja yang bersumpah lebih baik mati daripada menerima kata damai dan tawaran menjadi sultan, asalkan dia berpangku tangan melihat tanah dan kaumnya ditindas. Dia adalah juga seorang malim, orang suci, yang menjadi penghubung hati orang-orang Batak dengan sang maha pencipta mereka, Debata Mulajadi Na Bolon.

Sisingamangaraja XII diangkat pemerintah sebagai pahlawan nasional. Tetapi, bukan semata-mata karena itu TAPIAN dalam edisi (kepahlawanan) November ini menyajikan tulisan agak panjang mengenai tokoh legendaris dari Bakkara itu. Yang layak diingat adalah bahwa dia tak pelak lagi merupakan pejuang yang telah memberikan sumbangan yang tak diragukan lagi dalam perlawanan terhadap penjajah Belanda. Sementara predikat yang sama mungkin saja telah jatuh kepada seseorang yang justeru telah melancarkan invasi terhadap etnis lain, dan dengan demikian memberikan kemudahan kepada Belanda untuk menguasai Nusantara. Artikel dengan judul "Warisan Raja Namaruhum, Namarhatua" kami berharap agar beberapa warisan-warisan dari Sisingamangaraja XII dapat terus dirawat. Warisan yang tidak hanya berbentuk fisik melainkan berbentuk warisan hukum dan gerakan spiritualitas Parmalim. Tulisan utama Sisingamangaraja XII di edisi November ini tidak hanya menceritakan proses perjuangannya melawan kolonial, tapi juga dibalik semua itu ada petemanan yang indah antara etnis Batak dan Aceh yang sangat dikhawatirkan oleh Belanda, migrasi (selama ini sering dinyatakan lari) Sisingamangaraja XII ke Dairi, termasuk juga pengkhianatan terhadap raja ini. Beruntung kami berhasil menyajikan wawancara dengan salah seorang cucu kandung dari Sisingamangaraja XII yang masih ada, Raja Napatar Sinambela. Sehingga tulisan yang semuanya berada pada artikel Sudut Pandang, sengaja kami beri tema besar di Edisi ini "Siapa Mengkhianati Sisingamangaraja XII ?"

Undang-undang anti pornografi telah disahkan. Meskipun demikian saat menjelang pengesahannya banyak kontroversi. Terakhir muncul di beberapa daerah, yang menyatakan menantang pengesahannya. Dirubrik Serbaneka, ada uraian tentang asal-usul kata pornografi, dan bahwa yang memaksakan disahkannya rancangan undang-undang itu hanyalah gairah yang tak tertahan pada sekelompok kecil orang. Sejarawan Hilmar Farid memaparkan dengan tulisan "RUU Porno : Hasrat Besar Kelompok Kecil"

Keuletan dan keteguhan dalam memberikan makna bagi kehidupan seseorang bisa menjadi ilham atau malahan pendorong bagi orang lain. Silakan menikmati perjalanan karier sutradara film Edward Pesta Sirait dalam rubrik Sosok. Sementara dalam rubrik Dari Rantau kami sajikan kisah sukses Raja Utara Simanulang, yang mengadu nasib sebagai tukang tambal ban, namun berhasil menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Dan dengan bermodal angin, dia bersama istrinya sudah pernah menginjakkan kaki di Yerusalem.

Para pembaca yang terhormat, kalau sudah membaca kisah si tukang tambal ban yang bernama Raja itu, terimalah permintaan maaf dari kami, karena kisah sukses itu semestinya sudah dimuat dalam TAPIAN edisi kemarin. Sekali lagi maaf.

Tak sedikit keluh-kesah mengapa Tanah Batak tetap tertinggal dalam kemiskinan. Di rubrik Kritik ada uraian tentang koperasi agribisnis sebagai basis ekonomi rakyat. Tulisan itu ditutup dengan saran jika gerakan koperasi itu dipraktekkan dengan berpegang pada semboyan marsipature hutana be, maka dalam tempo 5-10 tahun pedesaan di Tanah Batak akan maju dan kemiskinan akan teratasi.

Dari sebuah ayat Al Quran dapat dipahami bahwa tidak ada perbedaan antara manusia yang sehat dan sakit, termasuk mereka yang kena HIV/AIDS. Yang membedakan manusia hanyalah prestasi takwa. Belum tentu penderita HIV/AIDS lebih rendah kualitas takwanya dari yang bukan penderita. Demikian pula sebaliknya. Begitulah ungkapan seorang penulis yang Islami di rubrik Spiritualitas dalam memandang bagaimana para penderita penyakit yang mematikan itu harus diperlakukan secara manusiawi. Karena Islam, katanya, adalah agama yang memuliakan manusia. Begitulah intisari tulisan yang disampaikan oleh Siti Musdah Mulia, muslimah pertama yang menulis buku anti poligami, dengan tulisan yang berjudul "Mewaspadai HIV/ AIDS Perspektif Islam".

Tak bosan-bosannya Om Galung tampil di rubrik Catur, dengan studi permainan akhir yang mencerahkan. Dan ada lagi sejumlah tulisan yang sayang kalau ditinggalkan. Termasuk pesona Danau Toba di rubrik Wisata dan tentang penyakit gatal-gatal yang kembali menyerang penduduk dan diduga karena limbah pabrik bubur kertas yang terletak tak jauh dari Porsea.


Majalah TAPIAN,

Kami berangkat dari budaya batak menuju budaya untuk kemanusiaan.

Dengan semangat keberagaman dan toleransi antar setiap etnis

Dalam terus merawat "Bhinneka Tunggal Ika"