Senin, 15 Desember 2008

Franz Magnis-Suseno SJ

PAULUS MENEGUR PETRUS

oleh Franz Magnis-Suseno SJ *)

Dalam surat kepada umat di Galatia, Paulus menceriterakan bagaimana ia menegur Petrus (Gal. 2 : 11 ). Waktu Petrus berkunjung ke Antiokia, ia semula bergaul enak dengan umat di sana – padahal mereka tidak disunat karena berasal dari masyarakat non-Yahudi. Sejak Petrus membaptis Cornelius, perwira pasukan Romawi, di Cesarea, ia mengerti bahwa untuk dibaptis orang tidak harus menjadi Yahudi lebih dulu. Tetapi, kemudian datang orang-orang Kristiani Yahudi konservatif dari kalangan rasul Yakobus, kepala umat Kristiani-Yahudi di Yerusalem. Mereka menegur Petrus: Kok Anda makan dengan orang tak bersunat. Petrus lalu berhenti bergaul dengan saudara-saudari Kristianinya yang tak bersunat.


Itu yang membuat Paulus marah. Ia menganggap Petrus munafik. Di depan umat, ia menegur: „Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi (karena kemunafikan adalah tanda jauhnya dari jalan Tuhan, jadi „kafir“, FMS), bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudari kafir untuk hidup secara Yahudi?“


Apakah tepat Paulus menegur Petrus di depan umat? Bukankah Yesus mengajarkan bahwa „saudara yang berbuat dosa“ harus lebih dulu ditegur „di bawah empat mata,“ lalu bersama „dua orang lagi,“ dan baru „jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat?“ (Mat : 18 :15 )


Tetapi, kasus Petrus lain. Petrus bukan sembarang saudara yang berdosa. Ia adalah rasul paling utama, „batu karang“ Gereja (Mat. 16 : 18). Kemunafikan seorang tokoh akan memberi sandungan umum dan bisa menyesatkan umat. Karena itu Paulus menegurnya secara terbuka. Sebagai pemimpin Gereja, Petrus adalah pribadi publik, dan karena itu perlu dikritik secara publik kalau ia dalam kelakuannya menyangkal bahwa kita diselamatkan karena percaya dan bukan karena menaati Taurat.


Mengambil sikap yang tidak setia pada Injil karena takut pada manusia terlalu sering terjadi dalam Gereja. Kita tidak mau membuat kesan jelek pada orang-orang berpengaruh, kita takut konflik, kita tidak berani mempertahankan sikap yang benar,–padahal kita pemimpin. Keberanian merupakan keutamaan hakiki bagi orang yang mengikuti Yesus. Keberanian tidak hanya berhadapan dengan mereka di luar yang memusuhi kita, melainkan juga di dalam. Berani melawan pendapat umum, kemarahan massa, prasangka yang masih dianut oleh suatu masyarakat. Demi Kristus kita harus berani melawan arus.


Masalah sikap Petrus bukan bahwa ada perbedaan pendapat dalam Gereja. Keyakinan Petrus bahwa orang tak harus disunat sebagai syarat untuk boleh dibaptis, dan bahwa di hadapan Allah semua orang sama-sama bersih sudah resmi diakui oleh para rasul dalam konsili mereka di Yerusalem (Kis 15). Yakobus pun waktu itu sudah setuju bahwa orang tak bersunat bisa dibaptis tanpa harus disunat terlebih dahulu. Jadi, masalahnya sudah selesai. Tetapi, masih ada kalangan Kristen eks Yahudi yang tidak setuju, dan rupa-rupanya berpengaruh. Terhadap mereka seharusnya Petrus tidak mundur, seharusnya ia tetap bergaul tanpa ragu-ragu dengan saudara dan saudari Kristiani yang eks-kafir. Paulus harus menegur Petrus keras-keras untuk menghilangkan keragu-raguan tentang penebusan yang dibawa Yesus.


Maka dalam Gereja kata terbuka mempunyai tempat dan haknya. Dan para pimpinan Gereja, para gembala, tidak boleh menindasnya, misalnya dengan alasan ketaatan terhadap ajaran Gereja. Akan tetapi, kritik harus juga memenuhi syarat. Bukan hanya kritik harus beralasan. Melainkan juga harus, biarpun keras, rendah hati. Kritik tidak boleh arogan. Tidak boleh memaksa atau pun mengancam, dan siapa yang mengritik, harus juga mau dikritik sendiri.


Yang sering terjadi bukanlah kritik terbuka, melainkan bahwa orang tidak berani mengritik yang bersangkutan, tetapi grundelan di belakang. Lalu, dalam umat terbentuk klik-klik yang akhirnya akan menghasilkan perpecahan. Bersungut-sungut dari belakang adalah sikap yang tidak pada tempatnya sama sekali dalam Gereja. Juga sikap aku sok benar sendiri. Sekali lagi, bukti bahwa kritik tidak berpamrih adalah kerendahan hati.


Suatu budaya keterbukaan di mana kita kalau perlu menyatakan pendapat kita, dan kita didengarkan, tetapi kita juga sadar bahwa kita sendiri tidak memonopoli Roh Kudus, jadi kita tetap rendah hati, dan juga bersedia untuk menarik kembali pendapat kita, kalau ternyata tidak tepat, itulah yang harus kita bangun dalam umat-umat kita. Kata terbuka dalam kejujuran dan kasih itu menciptakan suasana yang segar, positif, bersemangat, tidak memukul, tidak merendahkan, tidak menghilangkan semangat.


Untuk membangun sikap itu kita memerlukan kematangan dalam Roh Tuhan. Tanda kematangan itu adalah bahwa kita tidak mau menang sendiri. Keberanian, keterbukaan, kerendahan hati dan cinta pada Gereja, itulah sikap hati daripadanya kehidupan umat yang terbuka dan selalu mau mengoreksi diri terbangun. ***

*) Rohaniawan dan budayawan



Telah Dimuat di Majalah TAPIAN Edisi Desember





Tidak ada komentar: