Rabu, 03 Desember 2008

Maaf, sekedar promosi ya.

SALAM TAPIAN

Desember sama dengan Kelahiran. Dengan K besar, untuk mengingatkan kita pada Roh yang Kudus. Kelahiran dan proses tumbuh menjadi besar dan dewasa identik dengan Ibu, kaum perempuan sanjungan kita semua! Dalam tatanan budaya etnis tertentu, yang tak kenal kata tawar, peran Ibu bisa bukan apa-apa. Mereka seperti dilahirkan hanya untuk mengabdi kepada keluarga. Pelayan! Dalam pengertian kata itu yang sesungguhnya, mereka bisa membanting tulang untuk membesarkan dan menyekolahkan anak-anak yang mereka lahirkan. Dan jika martabat keluarga membubung tinggi, karena upaya perempuan, ironisnya yang dikenang orang dengan cepat justeru ”sang suami.” Tanpa pamrih, belum merupakan ungkapan yang pas untuk kebajikan hidup kaum Ibu.

Di bulan Desember ini manusia yang menjadi junjungan kita itu dirayakan secara nasional dalam Hari Ibu. Untuk menghormati kaum Ibu, melalui rubrik Sudut Pandang, TAPIAN menurunkan sebuah laporan tentang perempuan-perempuan ”perkasa” yang tidak saja mengayomi keluarga mereka, tetapi juga memuliakan masyarakat dan lingkungan. Wartawan majalah ini, yang jumlahnya terbatas, menongkrongi Ibu-Ibu yang merawat Bumi dengan berjuang untuk mempertahankan kehidupan bakau sebagai pelindung pantai kehidupan. Rekan kami juga berpeluh mengikuti seorang Ibu yang bekerja sebagai tukang panggul, untuk menyebutkan satu-dua di antara Ibu-ibu yang dahsyat tersebut. Laporan ini tentu masih jauh dari memadai. Dan terasa, maaf, terlalu Jakarta sentris. Sebab, kita tak boleh lupa, ada perempuan yang bekerja sebagai kenek dan tukang becak dayung di Medan. Mungkin juga pekerjaan lain, yang belum kita dengar dan tak pernah terlintas di benak kita. Tulisan perempuan-perempuan perkasa dari etnis batak ini kami beri judul, ”Boru-Boru Batak Inspirasi Kita Semua.” Tulisan ini juga di analisis oleh seorang psikolog yang sering melakukan pengamatan mengenai semangat ”survival” yang dimiliki oleh kaum perempuan. Frieda Mangunsong memberikan penjelasan tentang hal itu.

Dalam rubrik Legenda kami tampilkan Malin Kundang Batak, ”Sampuraga.” Disajikan dalam tulisan ”Kolam Sampuraga Tempat Memuja Kemuliaan Kaum Perempuan, Ibu Kita Semua.” Ada pula uraian (Kritik) yang kritis mengenai kaum perempuan yang selalu dijadikan tumbal untuk merebut kekuasaan. Bagaimana rezim fasis Suharto, dengan licik membohongi publik, menuduh perempuan menyileti kemaluan para jenderal yang terbunuh dalam peristiwa G30S, sebagai bagian dari upaya untuk menyusun kekuasaan baru di negeri ini, hampir setengah abad yang lalu. Tulisan berjudul ”Merumuskan Kembali Keindonesiaan” ini merupakan ringkasan naskah dari pidato kebudayaan yang disampaikan oleh I Gusti Agung Ayu Ratih.

Sekarang ini, terutama di kota-kota besar, tak sedikit anak-anak dari kaum Ibu kita yang bisa menikmati hidup yang berbunga-bunga. Tapi, tak kurang jumlah mereka yang papa sengsara, bagi siapa sesuap nasi adalah sebuah harapan yang begitu jauh. Yang terkadang harus dibayar dengan nyawa. Seorang rohaniawan yang selama bertahun-tahun berjuang untuk meningkatkan derajat anak-anak, dan tanpa pamrih hidup bersama mereka, menulis tentang hak-hak anak yang hilang sementara Negara tak kunjung datang untuk mematuhi janji kesejahteraan dan harga diri buat mereka, sebagaimana yang diharuskan konvensi internasional di mana Indonesia menjadi pihak. Semua tertuang melalui tulisan I Sandyawan Sumardi (Romo Sandy) yang menyatakan ”Nyanyian Jiwa Merdeka.”

Tak henti-hentinya juga kami menyajikan rubrik spiritualitas yang berupaya menyajikan bahan-bahan refleksi demi peningkatan kualitas rasa kebersamaan dan kemanusiaan di Indonesia. Kali ini Franz Magnis Suseno (Romo Magnis) menyampaikan bahwa kritik harus disampaikan secara elegan, semua tertuang dari pesan yang disampaikannya dalam perumpamaan “Paulus Menegus Petrus”.

Ngomong-ngomong, apa kabar kampung halaman? Ada tujuh kabupaten yang saling bersinggungan dengan Danau Toba. Malah, ketujuh kabupaten seperti menyusu ke Danau Toba. Tetapi, mereka kelihatannya saling ”marbada.” Begitu sulitkah bersinergi untuk bangun dan maju bersama?

Di rubrik musik, kami perkenalkan Ucok Munthe. Belum punya nama yang melambung, memang, namun dia punya obsesi yang konsisten untuk menulis dan memainkan rima dalam musik hip-hop, dengan menyerap pola pantun maupun gurindam. Sementara Om Galung dengan setia mengajak Anda untuk menelaah studi permainan akhir, sambil bersitatap dengan bidak-bidak di papan catur.

Dan tak lupa, kami, seluruh karyawan/karyawati majalah TAPIAN mengucapkan selamat HARI NATAL dan TAHUN BARU 2009. Tombak ni Sipinggan di dolok ni Sitapongan/ Didia pe hita tinggal, sai tong ma hita masihaholongan. Di mana pun kita tinggal, kita tetap saling mengasihi.




Majalah TAPIAN,

Kami berangkat dari budaya batak menuju budaya untuk kemanusiaan.

Dengan semangat keberagaman dan toleransi antar setiap etnis

Dalam terus merawat “Bhinneka Tunggal Ika”

Tidak ada komentar: