Senin, 29 Desember 2008

GADIS BATAK: DARI SEKOLAH SAMPAI MEDIATOR MARGA


GADIS BATAK: DARI SEKOLAH SAMPAI MEDIATOR MARGA

Oleh: Haliadi (Unidayan)


Sumber : http://psi.ut.ac.id/



PENGANTAR

Tulisan ini akan membahas kembali dan sekaligus mempertajam penelitian Sita van Bemelen tentang keberadaan gadis Batak pada kurun tahun 1920-1942 yang mendapatkan pendidikan Kolonial Belanda di Hindia belanda sehingga menjadi semacam moderator bagi dua klan yang disatukan dalam suatu pernikahan. Gadis intelektual Batak menjadi penghubung antara dua kelompok marga eksogamus yang patrilineal sifatnya. Menurut pembagian hukum adat yang dilakukan oleh van Volenhoven pada tahun 1933, kebudayaan Batak terletak dalam wilayah hukum adat yang disebut difusi Alas-Gayo dan Batak (Koentjaraningrat, 1975: 90-91). Hal itu menarik karena dalam kekerabatan di manapun cenderung untuk mempertahankan sistem yang sudah lama berlaku ketimbang pemikiran rasionalis yang baru masuk.

Catatan etnologis dari kajian antropologi sejarah Sita van Bemelen yang bertajuk "Educated Toba Batak daughters as mediators in the process of elite formation (1920-1942)" (Sita van Bemelen, 1992: 135-166) menarik dikaji untuk melihat perkembangan gadis batak dalam dinamika perkembangan kebudayaannya pada dasawarsa kedua abad ke-20.

Kajian sejarah gender, utamanya perempuan, masih relatif kurang dibandingkan dengan kajian terhadap peran laki-laki dalam perkembangan sejarah Indonesia. Sejarah perempuan sudah dilansir dalam tulisan Olwen Hufton, Natalie Zemon Davis, Sally Humphreys, Angela V. John, dan Linda Gordon (Juliet gardiner (ed.), 1988: 82-94). Masing-masing penulis itu menyoroti wanita sebagai suatu dinamika kehidupan yang bukan sekadar obyek tetapi pada sisi-sisi tertentu mereka sebagai subyek penggerak jaman. Meskipun demikian dalam kajian gender di Indonesia, wanita tetap dalam lingkupan dominasi laki-laki (Fauzie Rijal dkk., 1993: 49). Dinyatakan oleh Imam Ahmad dalam tulisannya tentang "Perempuan Dalam Kebudayaan" bahwa perempuan tetap masih berada dalam dominasi lelaki. Seperti di Jawa, perempuan selaku the second sex, dalam kalimat "suwarga nunut neraka katut" sama dengan bahagia atau penderiataan istri hanya tergantung peda suami. Dalam tulisan ini akan dilihat peranan gadis intelektual Batak sebagai mediator atas dua klan yang disatukan dalam keluarganya. Klan di Batak sekarang ini sudah mengalami evolusi yang begitu banyak, salah satu desa Kutagamber Batak Karo memiliki 16 Klan dengan 88 sub Klan (Masri Singarimbun, 1967/1974: 124).

PENDIDIKAN DI BATAK

Pada awal abad ke-20, pendidikan merupakan suatu unsur penting sebagai penyebab terjadinya perubahan-perubahan mendasar dalam setiap kehidupan individu maupun kehidupan sosial masyarakat Nusantara. Menurut Joko Suryo bahwa pendidikan itu semacam "peledak" (Djoko Suryo, 1996: 2) terjadinya perubahan jaman. Hal ini merupakan suatu konsekuensi yang dimunculkan oleh politik Etis (baca antara lain Sartono Kartodirdjo, 1977: 35-39; dan Robert van Niel, 1984: 31-36) Hindia Belanda. Perubahan-perubahan itu dapat diperhatikan dalam lokalitas-lokalitas tertentu yang tersentuh oleh pendidikan kolonial yang diterapkan untuk kaum pribumi.

Ada tiga dampak politik etis yang terjadi bagi kaum pribumi di Sumatera Utara, yaitu: pertama, adanya lapisan pekerja masyarakat di perkebunan, pelabuhan dan lainnya, mereka inilah yang disebut kuli; kedua, adanya pekerja kantor pemerintah atau perusahaan yang disebut kerani, yang dipandang sebagai orang terkemuka; dan ketiga, munculnya masyarakat petani maju di daerah pedesaan. Kelompok ketiga ini telah dapat menjual hasil pertaniannya karena pasar sudah ada dengan menggunakan alat tukar berupa uang (Daud Manurung, 1977/1988: 19). Berkembangnya pendidikan di Batak, khususnya menyangkut kaum wanita, memberi pengaruh yang sangat berarti pada relasi gender, seperti menolak kawin paksa, poligami, dan menolak pewarisan hak berdasar garis patrilineal. Semua itu akibat pola pemikiran yang diperoleh melalui pendidikan kolonial model pemikiran Barat.

Pada tahun 1914 HIS (Hollandsch Inlandsche School) atau sekolah dasar Belanda didirikan pertama kali di Tarutung, kemudian menyusul dua HIS tahun 1920 di Narumonda dan Dolok Sanggul. Pada tahun 1927 siswa yang lulus dari HIS meneruskan sekolahnya pada pendidikan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau sekolah lanjutan pertama. Sekolah-sekolah ini banyak mendapat tanggapan baik dari masyarakat. Sebelum ini sesungguhnya sudah ada sekolah seminari oleh Rheinische Missionsgesellschaft, suatu masyarakat misionaris Jerman. Mereka memper-kenalkan sekolah model Barat untuk anak lelaki yang paling pandai untuk pendeta Batak. Pada tahun 1920-an orang berpendidikan seminari dianggap lebih rendah dibandingkan dengan pendidikan Belanda yang baru diperkenalkan itu.

Pada tahun 1930 sekolah swasta mulai didirikan oleh orang Batak sendiri untuk mengisi kesenjangan yang terjadi, yakni jumlah siswa lebih banyak yang mau masuk dibanding dengan daya tampung sekolah Belanda. Di Batak sekolah bukan masalah pribadi semata, melainkan juga masalah marga. Inilah yang mendorong setiap klan memasukkan anak lelaki terbaik mereka dalam pendidikan.

Hal menarik yang dilihat oleh Sita ialah adanya relasi gender yang menyatakan bahwa laki-laki intelektual membutuhkan istri yang intelektual pula. Guru, Pendeta, Pengrajin di workshop milik misionaris di Laguboti lebih memilih gadis-gadis berpendidikan untuk calon istrinya. Kenyataan itu yang mendorong anak perempuan memilih sekolah dari pada hanya sekedar mengantar pupuk kandang ke Ladang. Para lelaki intelek inilah yang menjadi juru bicara di dalam keluarga untuk menyekolahkan para anak gadisnya.

Sejak tahun 1923 asrama missi putri didirikan di Tarutung yang diawasi oleh seorang suster Misionaris Jerman yang terpercaya pada pendidikan Kristen. Pada tahun 1929 para Missi, pria muda berpendidikan dari Batavia, dan Pendeta mereorganisasi tiga sekolah wanita yang ada di Pearaja, Laguboti dan Balige menjadi sekolah-sekolah standard. Sekolah inilah yang diperkenalkan oleh Kolonial Belanda dengan kurikulum enam tahun untuk seluruh Nusantara nantinya. Kemudian tahun 1931 sekolah standard semacam itu dibangun lagi di Butar. Selanjutnya pada tahun 1930 jumlah murid sekolah perempuan itu sudah berjumlah 500 orang murid. Para gadis yang telah menamatkan diri dari HIS hanya menjadi guru bantu di Sekolah Dasar (SD) Missi dan Perawat atau Bidan di rumah sakit missi. Pada tahun 1935 anak gadis yang me-lanjutkan sekolah ke MULO hanya lima orang, sedang murid laki-laki mencapai jumlah 98 orang. Kalau gadis-gadis Batak berkeinginan untuk melanjutkan sekolahnya, maka mereka masuk ke sekolah guru puteri atau sekolah campuran Belanda di Yogya, Salatiga, Bogor, atau Solo. Semua suku di Batak menginginkan kehadiran pemuda atau gadis yang berpendidikan untuk kebanggaan sekaligus dapat menyambungkan kedua suku. Di antara 133 pasangan yang diamati terdapat 74 orang wanita yang menikah dengan pria yang berpendi-dikan tinggi, 52 wanita menikah dengan pria yang berpendidikan relatif sama, dan 7 menikah dengan pria yang berpendidikan rendah. Hal itu menunjukkan bahwa kaum pria sulit mencari pasangan hidup yang serasi dalam artian sesuai dambaan keluarga, dan sebaliknya justru wanita tidak mengalami kesulitan (Sita van bemelen, Ibid.: 151). Hal ini merupakan kenyataan gender bahwa wanita tetap belum sejajar dalam arti kuantitatif di Batak sampai tahun 1930-an.

GADIS INTELEKTUAL BATAK

Menurut Sartono Kartodirdjo, potensi sebagai intelektual dapat direalisasikan antara lain melalui 1) mengidentifikasi situasi serta permasalahannya, 2) menghadapi berbagai gejala dan permasalahannya secara kritis, 3) menginterpretasikan gejala sosio-kultural untuk memberikan maknanya dan 4) mentransendensi realitas kekinian dan membuat proyeksi ke masa depan (Sartono Kartodirdjo, 1984: 60). Pada tahun 1936 Sita van Bemelen dalam karyanya menunjuk perkawinan antara Bu Sinaga dengan seorang dokter muda lulusan sekolah kedokteran di Surabaya. Pernikahan itu terjadi pada tahun 1941. Walaupun mendapat tantangan dari ibu mertuanya karena menginginkan anak lelakinya kawin dengan anak saudaranya, tapi karena anak yang bersangkutan menginginkan istri yang berpendidikan maka pernikahan itu dapat terjadi. Lelaki intelektual itu telah dapat merealisasikan sikap intelektualitasnya dengan memilih gadis berpendidikan sebagaimana yang diimpikan. Pernikahan itu adalah simbol penyatuan berbagai kepentingan intelektual, walaupun secara struktur budaya perkawinan itu juga menghubungkan klan Silindung dengan Samosir. Tidak ada ruginya menyekolahkan anak gadis karena hal itu menambah kesempatan untuk melakukan ikatan keluarga dengan klan yang status sosialnya sejajar untuk mempertahankan lestarinya status marga.

Perkawinan ideal dari kekerabatan Batak adalah antara sepupu (paribun tangkas), tetapi karena pendidikan yang diperkenalkan oleh Belanda maka kaum intelektual lebih berpikir rasional dalam upaya perkembangan kekerabatan. Dalam sampelnya Sita menunjukkan bahwa dalam 17 pasangan, ada tiga kasus perkawinan antara sepupu dan dalam 95 sampel yang lain ada 7 kasus perkawinan antar sepupu. Hal itu memperlihatkan bahwa perkawinan berdasarkan adat setempat telah mulai merosot. Sumbangan pendidikan Kolonial Belanda telah memberikan kontribusi yang memadai dalam perubahan sosial dan perkembangan elit di Batak.

Asumsi dari Sita van Bemmelen terbukti bahwa ada tiga hal yang menarik untuk disimak dalam perkembangan pendidikan di Batak. Pertama, keluarga elit Batak memiliki peluang untuk tetap memperbaiki posisi status keluarganya dengan memberikan pendidikan pada puteri-puterinya; kedua, memberikan pendidikan pada gadis-gadis Batak bukankah merupakan suatu strategi baik jika keluarga mengharapkan ikatan pernikahan dengan keluarga yang status keluarganya tinggi; ketiga, para anak gadis dengan pendidikan mereka dapat meningkatkan dirinya, karena memperkuat posisi tawar yang lebih baik dalam keputusan memilih calon suami (Sita van Bemelen, 1992).

PENUTUP

Pada mulanya gadis Batak tidak mendapatkan pendidikan yang memadai seperti laki-laki, namun karena tuntutan laki-laki Batak, maka mereka berusaha untuk mengikuti pendidikan. Pada tahun 1930 gadis Batak mulai mengikuti pendidikan. Pendidikan inilah yang akan membuat mereka menjadi mediator antara dua klan di Batak dalam ikatan keluarga. Dalam keputusan untuk menikah dengan laki-laki, mereka telah memiliki bargaining position tersendiri dalam tingkatan kekerabatan maupun elit di Batak.

Setelah mereka menjadi ibu dalam keluarga yang dibangun atas prinsip yang diperoleh dari proses pendidikan, mereka menjadi mediator atau penengah antara dua kelompok marga. Marganya sendiri dia berfungsi sebagai hadiah tertinggi bagi marga laki-laki, demikian sebaliknya bahwa dia juga berperan sebagai penyambung hadiah yang datangnya dari mertua. Dari itu gadis Batak yang telah menjadi istri adalah lambang bersatunya dua marga di daerah Batak.

Relasi gender di Batak ditentukan oleh pendidikan yang diperoleh oleh kedua belah pihak. Laki-laki yang memiliki tingkat pendidikan tinggi berusaha mendapatkan gadis yang tinggi pula pendidikannya, demikian juga sebaliknya. Kenyataan itu secara antropologis, menjadikan kedua marga yang mempertahankan adat kebiasaan mengikuti secara latency karena tuntutan tujuan kekerabatan yakni integrasi maupun adaptasi dengan kenyataan pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Bemelen, Sita van dkk. (ed.). (1992). Women and Mediation in Indonesia. Leiden: KITLV Press.

Daud Manurung dkk. (1977/1988). Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Utara. Jakarta: Dep.Dik.Bud.

Djohan Makmur dkk. (1993). Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan. Jakarta: Dep.Dik.Bud.

Djoko Suryo."Pendidikan, Diferensiasi Kerja, dan Pluralisme Sosial: Dinamika Sosial-Ekonomi 1900-1990." Makalah disampaikan pada Kongres Sejarah Nasional Indonesia pada tanggal 12-15 Nopember 1996.

Fauzie Rijal dkk.(ed.). (1993). Dinamika gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Gardiner, Juliet (ed.). (1988). What is History Today? London: Macmillan Education LTD.

Koentjaraningrat (ed.). (1967/1974). Villages in Indonesia. Ithaca and London: Cornell University Press.

Koentjaraningrat. (1975). Anthropology in Indonesia a Bibliographical Review. Netherlands: S'Gravenhage-Martinus Nijhof.

Niel, Robert van. (1984). The Emergence of the Modern Elit. Dordrecht: Foris Publikation/KITLV.

Sartono Kartodirdjo. (1984). "Pelembagaan Politik dan Integrasi Elit Moderen," Prisma No. 8.

Sartono Kartodirdjo, dkk. (1977). Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Tidak ada komentar: