Senin, 19 Januari 2009

Murniwati Harahap : Penggiat Hutan Bakau Jakarta

Murniwati Harahap : Penggiat Hutan Bakau Jakarta

Chris Poerba


Jakarta termasuk salah satu kota di dunia yang berada di bawah ketinggian permukaan air laut. Karena itu sangat rentan terhadap beberapa acaman terkait perubahan iklim, terutama pemanasan global (global warning) yang sekarang mengancam. Jakarta dapat dianalogikan seperti kota yang berada di dalam baskom. Perubahan kota Jakarta yang sangat pesat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup. Bahkan bencana-bencana yang ditimbulkannya semakin lebih buruk. Permasalahan banjir merupakan salah satu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas oleh pemerintah kota.

Di kawasan Angke tercatat 90% bakau yang sudah musnah karena ulah manusia. Pelestarian bakau di pantai utara Jakarta itu menjadi kunci. Adalah Murniwati Harahap, seorang perempuan Batak berusia 64 tahun yang, dari hutan yang hancur, muncul sebagai penyelemat, dengan mengupayakan penghijauan kembali hutan bakau di wilayah Angke- Kapuk.

Menjadi penyelamat bukanlah mudah. Untuk memperoleh izin pengelolaan saja dia harus mengurut dada. Setelah beberapa tahun, barulah dia memperoleh izin. Ada tiga instansi yang harus memberikan rekomendasi. “Harus ada rekomendasi dari Kanwil Kehutanan, rekomendasi dari Pariwisata dan DKI. Nah, trus habis itu baru masuk permohonan izin ke Menteri Kehutanan. Semua itu prosesnya selama dua tahun lebih. Untuk itu saja. AMDAL aja sampai tiga kali kalau gak salah. Sekarang, saya pikir kok AMDAL. Kita mengupayakan penghijauan, masak perlu AMDAL,” katanya mengenang prosedur birokratis yang terkadang mentertawakan.

Setelah berbagai proses perizinan selesai, kerja belum dapat dimulai. Kendala yang cukup besar menghadang saat reformasi 1999. Saat demokrasi memperoleh tafsir yang menyimpang. “Ya, itulah, pas reformasi. Saya memang terlalu patuh kepada peraturan. Pada waktu saya tiba di sini sudah habis semua. Dulu bagus, sekarang gundul semua. Sudah dibikin orang tambak.“ Mengingat lahan yang digunakan sebagai lahan hutan mangrove ini merupakan milik negara, maka banyak yang mengalihkan fungsi lahan ini, terutama menjadi tambak. Itulah dampak gelombang „reformasi“ yang dirasakan perempuan kita ini.

Pada awal reformasi itu, Murni bahkan pernah mendapatkan reaksi yang keras dari para petambak. “Ketika kita kerja, tiba tiba ada 100 orang lebih datang bawa parang, bawa golok. Orang saya, yang dari Sukabumi, ada 30 orang. (Karena takut) ya, kabur,” katanya. Meskipun Murni memiliki legalitas yang sah dari pemerintah, namun ini tak menyurutkan langkah para petambak untuk mengambil-alih dan menggunakan lahan sebagai lokasi tambak. Bahkan petambak tidak menyukai keberadaan hutan bakau yang ingin dia kembalikan. Karena dianggap mengganggu sirkulasi air bagi ikan-ikan peliharaan mereka di dalam tambak. Padahal, untuk membesarkan bakau dibutuhkan waktu sepuluh tahun. Dan, justeru itulah yang dengan sabar dikerjakan oleh Murni.

Dalam menghadapi para petambak, berbagai upaya dilakukan, termasuk perundingan, walau berbuntut kebuntuan. Perlawanan yang dilakukan oleh petambak sejak awal Murni melangkah di situ berlangsung terus sampai saat ini. Ada 28 orang petambak yang ngotot untuk tetap menolak penghijauan. Meskipun kini, mereka sudah tidak terlalu reaktif seperti sebelumnya. Para petambak ini sendiri bukan merupakan warga yang berdomisili di sekitar hutan bakau.

Sampai saat ini petambak masih selalu memotong akar dari bibit bakau (mangrove) yang baru saja ditanam ke dasar air. Keadaan bertambah parah, karena mereka juga mengangkat lumpur yang terdapat di sekitar mangrove. Padahal, bakau akan cepat besar bila ada lumpur, yang akan merangsang pertumbuhan akar-akarnya. Setiap kali Murni melakukan penanaman bibit bakau, saat pula para petambak merusaknya.

Pada tahun 2002, Murni menempuh jalan tengah, dengan memberikan uang ganti rugi kepada para petambak. ”Kita berikan ganti rugi sebesar Rp 6.000.000 kepada setiap petambak. Yang menerima ada sepuluh orang. Yang lain tetap gak mau keluar,” katanya menggelengkan kepala.

Murni bersikeras, kawasan tersebut dijadikan hutan mangrove terlebih dulu, baru kemudian dibangun berbagai prasarana. Bertemu dengan wakil-wakil dinas pemerintah yang berkaitan dengan lahan milik negera tesebut, dia juga mengimbau agar masalah dengan para petambak segera diselesaikan.

Fajar harapan mulai menyingsing untuk Murni pada tahun 2006. Keadaan mulai membaik. Apalagi dengan banyaknya orang yang datang berkunjung dan menanam bakau. Mereka terdorong oleh pemberitaan media tentang kondisi hutan baku yang sangat mengkhawatirkan.

Murni mengatakan, upayanya untuk mengembalikan hutan bakau tersebut dilakukan secara mandiri. Dan, dia ingin memberikan sesuatu yang terbaik selama masih diberikan kekuatan oleh Tuhan. Termasuk juga ingin meninggalkan sesuatu yang berharga bagi generasi mendatang. Katanya: ”Saya tidak minta satu sen dari mana pun untuk menghutankan ini, menanam mangrove ini. Saya berjuang sendiri, saya bikin sendiri. Tidak terasa sebagai beban, karena niat yang tulus. Yang penting bagi saya cuma satu, berkah dari Tuhan. Menanam itu merupakan pahala yang bukan main.”

Izin pengelolaan taman wisata alam di Angke-Kapuk diberikan kepada Murniwati Harahap atas nama PT Murindra Karya Lestari, dan berlaku selama 35 tahun. Dia berharap dapat terus mengelola taman wisata ini sekaligus menjaga pelestarian hutan bakau. ”Kalau mau bisnis saya gak akan buat d isini. Saya buat di Bandung. Kan saya bilang tadi, saya orang Batak lama tinggal di Bandung. Saya tahu tanah yang bisa dibikin agrowisata. Saya tahu gimana mengelola tanaman. Saya tahu pakai pupuk itu bagaimana. Saya belajar dari tanaman sudah 30 tahun lebih.”

Setelah jerih payah Murni mulai terlihat dan bersinar, ada pihak-pihak yang ingin mencari untung dengan mengajak kerjasama mengembangkan wilayah yang telah dihijaukannya itu menjadi tujuan wisata. Tapi, dengan halus dia tolak. Dia khawatir dengan berbagai kepentingan yang berada di belakang mereka yang mendekatinya sekarang ini.

Murni juga tegas-tegas akan menolak partai-partai politik yang hendak menanam bakau dengan mengadakan berbagai upacara seremonial hanya untuk merebut publisitas. Bakau adalah tanaman pelindung yang besar dalam kesederhanaan. Akarnya kuat memegangi dasar, sehingga sebesar apa pun ombak tak cukup kuat untuk mencabutnya. Murni merasa memperoleh tuntunan hidup dari contoh yang ditunjukkan sebatang pohon bakau. Kuat dan teguh dalam melangkah, membela lingkungan.


Telah Dimuat di Majalah TAPIAN Edisi Desember 2008


5 komentar:

Unknown mengatakan...

👍👍👍👍👍👍

Unknown mengatakan...

👍👍👍👍👍👍👍

Klon-Ink mengatakan...

Selamat jalan ibu murni, pejuang lingkungan hidup, ibu dari ratusan anak, Karyamu akan slalu menginspirasi kami.smoga khusnul khatimah

Unknown mengatakan...

Selamat kembali kpd Sang Khalik ibuku, pertemuan bln Desember 2016 ternyata menjadi pertemuan kita terakhir.
Ini dr "Anak Hilang" yg sering menjadi panggilanku sejak dr thn 2005 lalu.

Unknown mengatakan...

Selamat kembali kepada sang pencipta Ibu kami yang tercinta,semoga Ibu mendapatkan tempat yang layak di sisiNYA dan menjadi pendoa bagi kami.terimakasih atas perjuangan Ibu telah menyelamatkan hutan mangrove yang sangat bermanfaat bagi banyak orang.peninggalan Ibu tetap kami teruskan dan kami jaga.semoga Ibu juga tetap mendoakan kami anak2mu yg masih tetap berziarah di bumi ini.