Rabu, 21 Januari 2009

Menilik Sisa-Sisa Situs Majapahit di Desa Klinterejo, Sooko

Radar Mojokerto [ Selasa, 20 Januari 2009 ]


Menilik Sisa-Sisa Situs Majapahit di Desa Klinterejo, Sooko
Berserakan,
Banyak yang Tergeletak di Lokasi Pembuatan Batu-bata


Ditengah sorotan publik terhadap pembangunan Pusat Informasi Majaphit (PIM) di Trowulan, di sisi lain ternyata banyak ditemukan situs di beberapa desa yang kondisinya kini tak terawat. Bahkan perlahan-lahan sudah banyak yang hilang karena terjual. Seperti sebuah bangunan kuno mirip pagar berada di Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Mojokerto.MOCH. CHARIRIS, Mojokerto ---JIKA boleh ditebak, siapa yang banyak menemukan atau menemui benda purbakala di wilayah Kecamatan Trowulan dan sekitarnya? Jawabannya adalah para pembuat batu-bata di sawah. Di sadari atau tidak, setiap hari mereka dihadapkan dengan sebidang tanah liat yang siap di pasarkan dalam bentuk batu bata merah. Sebuah cangkul, gancu dan ember seakan tidak bisa dipisahkan dari mereka. Karena dengan alat sederhana itu, mereka bisa bekerja dan menggali tanah selanjutnya di bentuk persegi yang dijadikan rupiah. Terkadang secara tidak sengaja saat menggali tanah mereka kerap menemui benda purbakala peninggalan Kerajaan Majapahit yang pernah jaya pada abad 14. Diantaranya berbentuk gentong, gerabah, batu lumpang, candi, hingga situs yang berbentuk pagar dan puthuk (gapura kecil). Seperti yang kerap ditemui warga sekaligus pembuat batu-bata di Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto. Tepatnya sebelah barat situs Kahuripan yang terdapat batu berukuran lebar. ''Sebenarnya dari dulu sudah banyak ditemukan situs-situs di area tempat pembuatan batu-bata ini," ujar salah satu warga yang kesehariannya bekerja membuat batu-batu. Pria bertubuh rada kekar dan berambut pendek itu mengaku, peninggalan cagar budaya di lokasi tempatnya bekerja jika dihitung lebih dari lima jenis. Ada yang berbentuk batu lumpang, puthuk makam, sumur dan sebuah bangunan menyerupai pagar peninggalan Kerajaan Majapahit. ''Setahu saya bangunan kuno seperti puthuk itu sudah ada dari beberapa tahun lalu. Tapi untuk pagar dan sumurnya baru diketahui lima tahun terakhir ini. Tepatnya saat ada pembuatan batu-bata," ujarnya sembari mencetak tanah dalam bentuk bata. Bila diamati lebih dalam, tidak hanya situs, namun berbagai artefak juga ada di sebidang tanah milik perangkat desa yang disewakan kepada para pembuat batu-bata. Salah satunya berbentuk batu lumpang, setinggi 50 sentimeter dengan lebar 1 meter. ''Setelah itu semua ditemukan sebenarnya lokasi ini sudah dikunjungi sama orang BPPP," terangnya. Meski begitu purbakala berharga yang semestinya mendapat perlindungan, kini kondisinya cukup memprihatinkan. Sedikitnya ada enam batu lumpang seakan tak bernilai. Berserakan, tak terjaga dan tergeletak liar di sekitar linggan (bangunan tempat membakar batu-bata, Red). Sebagian lainnya malah menyedihkan karena terkapar di tepi sungai kecil. Bahkan oleh warga ada yang difungsikan untuk menyeberang wangan (sungai kecil). Akan tetapi yang lebih mengenaskan saat ini, situs berbentuk pagar berada di sebelah barat tempat pembuatan batu bata dalam kondisi rusak berat. Tidak hanya tergerus akibat pembuatan batu bata, melainkan sebagian sudah hilang. Ada yang menyebut hilangnya bagian bangunan berharga itu ada yang menjual. Dalam bentuk bijian batu batu memiliku ukuran 20 sentimeter kali 60 sentimeter, dengan ketebalan 5 sentimeter. Untuk satu buah batu bata dihargai Rp 500 rupiah. Kendati demikian sejauh ini tidak dieketahui jelas, siapa yang menjual dan siapa yang membeli bagian bangunan yang memiliki panjang sekitar 500 meter. Namun jika ada pemesan yang masuk ke kawasan tersebut beberapa orang siap melayani sesuai pesanan. Asalkan harganya cocok.''Memang selama ini warga sudah banyak yang tahu, kalau di kawasan pembuatan batu bata itu banyak situs. Tapi kami belum tahu jika kerusakannya semakin parah," kata Sekretaris Desa Bidin, saat ditemui di rumahnya tidak jauh dari lokasi. Mendengar ada kerusakan atau bahkan praktik jual beli benda sejarah, pria yang hobi sepak bola itu mengaku miris. Sebab selaku perangkat dan atas nama warga, dia menyayangkan kalau ada orang dengan sengaja memesan batu-bata kuno berakibat kerusakan. ''Kalau warga yang merusak kami rasa mereka tidak bisa disalahkan karena urusannya perut. Tapi kemungkinan ada orang di belakang itu," dugaan Bidin. Agar tidak berkelanjutan, Bidin dan perangkat desa lain akhirnya memutuskan untuk mengamankan cagar budaya yang tersisa. Baik dalam bentuk lumpang artefak berkeliaran, atau pagar besar yang susunan batu-batanya banyak yang hilang. ''Belakangan warga belum sadar kalau benda-benda itu memiliki nilai sejarah tinggi. Tapi yang pasti bersama warga kita akan amankan situs-situs itu," paparnya. (yr)============ ========= ========= ========= ========= ========= ===



Radar Mojokerto [ Rabu, 21 Januari 2009 ]

Menilik Sisa-Sisa Situs Majapahit di Desa Klinterejo, Sooko
Batu Berharga Itu Beralih Fungsi


Batu Berharga Itu Beralih Fungsi Jadi Penyeberangan Pengetahuan warga tentang benda cagar budaya peninggalan Kerajaan Majapahit memang cukup minim. Dari mengenal benda dan cara memperlakukan. Manfaat dan cara melestarikan hingga, cara melindungi dan mengamankan. Tidak heran jika di Dusun/Desa Klinterejo, berbagai bentuk dan model situs banyak yang terbengkalai dan tak terawat. MOCH. CHARIRIS, Mojokerto ---LIHAT saja dua batu dengan posisi berdampingan berada di sebuah aliran sungai kecil itu. Ukuranya memiliki lebar 73 sentimeter, tinggi 73 sentimeter dan ketebalan tidak lebih dari 33 sentimeter. Meski memiliki nilai sejarah dan bernilai tinggi, namun benda keras tak bergerak itu seperti tak berharga. Bahkan letak batu di sungai kecil yang memisahkan antara Desa Panggih, Kecamatan Trowulan dengan Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko, sekarang beralih fungsi menjadi tempat pijakan menyeberangan warga sekitar. ''Dua batu itu biasanya digunakan warga menyeberang dari Desa Panggih ke Desa Klinterejo atau sebaliknya," ujar Bambang Hariawan warga setempat, saat ditemui siang kemarin di tempat pembuatan batu-bata. Tidak hanya dua batu biasa disebut orang batu umpak atau lumpang, di sekitar lahan pembuatan batu-bata seluas 2 hektare milik seorang perangkat desa, ternyata banyak ditemukan batu berbentuk serupa. Hanya tinggi, lebar dan ketebalannya berbeda. Ada yang menyerupai lumpang ada pula yang lebih kecil dan berbentuk lesung. Kalau dihitung jumlahnya mencapai 10 buah. Posisinya ada yang masih ansitu (alami dan di tempat semula), ada pula yang berserakan. ''Tapi yang banyak lumpangnya berserakan. Sejak ada pembuatan batu-bata banyak warga yang menemukan benda itu," terangnya. Sebagai warga, Bambang menuturkan pada tahun 1995 tepat kali pertama warga membuka lokasi pembuatan batu-bata, tidak sedikit batu berjenis sama ditemukan. ''Setidaknya kami pernah menemukan 40 buah batu lumpang. Tapi lokasinya berpencar-pencar, " jelasnya. Dibanding saat ini, penuturan Bambang memang terkesan ironis. Sebab, tidak ada satupun warga yang mengetahui persis berapa jumlah yang masih tersisa. Karena warga tidak tahu fungsi dan manfaat. ''Makanya yang bisa dilakukan warga hanya membiarkan. Bahkan kalau ada yang hilang kita tidak tahu," bebernya. Hal serupa juga dituturkan Mukri, salah satu pembuat batu-bata. Tidak jarang pria bertubuh kekar itu menemukan batu umpak, saat menggali tanah sebagai bagan batu-bata. Dari ukuran besar sampai lesung setinggi 30 sentimeter kali 40 sentimeter. ''Di linggan (tempat pembakaran batu-bata, Red) saya ada dua batu besar. Itu sudah lama, karena hanya berbentuk batu kami sengaja membiarkanya di tengah sawah," ujarnya. Menyusutnya jumlah batu umpak dan lesung memang tidak diketahui jelas, apakah sengaja dicuri atau berpindah tempat. Namun jika melihat lokasinya yang ada di setiap sudut lahan pembuatan batu-bata, tidak mudah jika benda cagar budaya itu dicuri. Terlebih praktik pencurian itu dilakukan pada malam hari. ''Tinggal dipindahkan saja ke atas gledekan (gerobak, Red) atau mobil sudah beres. Kan gak ada yang tahu," urainya. Untuk menekan aksi pencurian, pernah pada tahun 2008 kemarin warga dipelopori perangkat desa mengumpulkan dan memindahkan lokasinya, ke situs Kahuripan (watuombo) atau makam Tribuana Tunggadewi. ''Kurang lebih ada sekitar 16 batu yang berhasil kami kumpulkan. Dan sekarang kami amankan di watuombo," ungkap Sekretaris Desa Klinterejo Zainal Abidin. Didasari banyaknya temuan batu umpak dan lesung, Abidin menduga di lahan pembuatan batu-bata tersebut adalah bekas perumahan penduduk. Sebab selain batu, warga juga kerap kali menemukan sumur kuno. ''Tapi karena tidak ada yang tahu sejarah sebenarnya selama ini kami hanya menebak saja. Soal kepastian tempatnya apa kami tidak tahu," imbuhnya. (yr)

Tidak ada komentar: