“Mekanisme pasar sebenarnya bukan sesuatu yang jelek. Pada awalnya, mekanisme pasar itu baik adanya karena digunakan untuk menjinakan fanatisme agama dan juga fanatisme politik, dalam hal ini otoritarianisme.” kata Romo Herry. Menurutnya, dengan begitu maka nafsu dan keinginan daging yang alamiah tidak perlu dikontrol tapi diadu dengan nafsu yang lain, dalam hal ini nafsu fanatik yang berlebihan terhadap agama dan politik. Dengan begitu nantinya akan terbentuk mekanisme kontrol dengan sendirinya. Sama halnya dengan mekanisme kontrol pada pemerintahan di republik ini yang terbagi menjadi tiga kutub eksekutif, legislatif dan yudikatif. Begitulah idealnya kira-kira.
Romo Herry, yang lengkapnya bernama B. Herry-Priyono itu, menyampaikannya pada hari Selasa, tanggal 23 Maret 2010 dalam kuliah umum yang bertajuk ”Fundamentalisme Pasar”. Kuliah umum yang bertempat di ruang Teater Perpustakaan Nasional ini digagas oleh ELSAM, sebuah lembaga studi dan advokasi masyarakat yang telah berdiri sejak tahun 1993. Kuliah umum Fundamentalisme Pasar ini juga merupakan bagian dari upaya ELSAM untuk semakin lebih mempromosikan hak-hak asasi manusia. Mengingat salah satu tujuan yang terus diupayakan oleh lembaga yang berbasiskan kemanusiaan ini adalah melakukan penguatan perlindungan HAM dari ancaman fundamentalisme pasar, fundamentalisme agama dan komunalisme dalam berbagai bentuknya. Seperti yang disampaikan oleh kedua punggawanya, sebelum dimulainya acara itu, I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, yang biasa disapa dengan Gung Tri selaku direktur eksekutif dan juga Atnike Nova Sigiro, boru Batak yang menjadi salah seorang pegiat ELSAM
Romo Herry, yang ternyata pernah menjadi kuli selama 1, 5 bulan di sebuah desa di Solo, memang sangat sering, ”gatal” dan getol kalau membawakan seminar dengan tema-tema besar ekonomi seperti dari globalisasi, mekanisme pasar juga neo-liberal, yang menyeruak akhir-akhir ini, terutama setelah adanya kasus Bank Century, yang bukan miliknya orang-orang Sianturi.
Pada kuliah ini, beliau merujuk kepada penemuan dari seorang sejarawan ekonomi asal Swiss yang tengah kondang saat ini, Paul Bairoch, dengan bukunya yang berjudul Economics and World History : Myths and Paradoxes, yang diterbitkan pada tahun 1993. Dari data yang ditemukan oleh halak Swiss itu, negara-negara adidaya, yang sekarang ini sangat getol untuk terus mempromosikan pentingnya pasar bebas ternyata tadinya tidak begitu. Karena saat negara-negara itu masih belum mapan, belum stabil atau katakanlah masih seperti negara di dunia ketiga, mereka bahkan menolak keras ajakan dan rayuan dari konsep pasar bebas itu.
Amerika yang sekarang juga berkotbah mengatakan pasar bebas, dulunya adalah negara yang paling keras menolak pasar bebas itu. Ketakutan dari Amerika, dan juga Inggris terhadap pasar bebas itu dilakukan dengan menetapkan proteksi yang berupa menaikkan tarif masuk barang-barang manufaktur. Dari tabel milik Bairoch, terlihat jelas kalau Amerika saat belum mapan saja, sudah sebanyak 5 kali melakukan proteksi, yaitu tahun 1820, 1875, 1913, 1925 dan 1931, mereka melakukan proteksi dengan menaikkan persentase tingkat tarif masuk barang-barang manufaktur dengan jumlah yang besar. Bahkan terlihat di tahun 1931 tarif masuk barang-barang manufaktur itu mencapai 48%, yang terbesar dari tahun-tahun sebelumnya. Baru setelah tahun 1950, negerinya Obama itu mulai menurunkan tingkat tarif masuk barang-barang manufaktur menjadi sebesar 14%. Sedangkan di Inggris, pada tahun 1820, saat belum dalam kondisi yang aman juga pernah menetapkan proteksi yang besar yaitu sekitar 45-55 %.
“Jadi negara-negara yang sekarang berkotbah agar segera menjalankan pasar bebas sekarang dan secepatnya, dulunya mereka takut dan tak mau melakukan pasar bebas” menurut penerawangan Romo Herry, yang juga pernah selama 3 bulan tinggal bersama kaum gelandangan, atau mereka yang tak punya rumah (homeless) di New York. Biasanya negara-negara adidaya yang memprovokasi diberlakukannya sesegera mungkin pasar bebas itu, ”lalu berkotbah kepada bangsa-bangsa lain tentang keuntungan perdangangan bebas, sambil berpura-pura menyesali bahwa selama menerapkan proteksi, ia telah menempuh jalan sesat. Dengan perdagangan bebas, untuk pertamakalinya ia menemukan kebenaran.” ujar Herry sembari membaca kutipan yang diambil dari seorang Friedrich List. Di kutipan itu, Friedrich List menggambarkan apa yang dilakukan oleh negeri-negeri di barat itu seperti ”strategi menendang tangga”, setelah negeri mereka melewati masa paceklik, menaiki tangga tertinggi, dan selamat dari ancaman pasar bebas, dia menendang tangga yang telah dinaikinya itu sehingga orang lain tak bisa naik. Sialnya, sekarang malah menyarankan yang kebalikannya, kalau pasar bebas itu adalah ”juruselamat” bagi negara-negara berkembang.
Begitulah awal mulanya muncul mekanisme pasar. Menurut Romo Herry, “Pada awalnya Mekanisme pasar itu adalah sesuatu yang jenius, sedangkan kebebasan itu juga sesuatu yang luhur. Tapi dengan menerapkan mekanisme pasar ke segala bidang maka kebebasan bukan lagi menjadi urusan hak asasi, tapi menjadi sebuah perkara. Artinya apakah aku sanggup atau tidak untuk membayar kebebasan itu.” Pasar bebas dengan segala kosakata yang terkait di dalamnya, itu seharusnya diberlakukan hanya sebatas instrumen bukan menjadi tujuan akhir, dalam bahasa beliau bukan menjadi kondisi permanen. ”Kalau pasar bebas menjadi kondisi permanen itu menjadi bahaya.” ujar Romo yang juga pernah mengenyam hidup sebagai petani.
Pasar bebas adalah bagian dari realitas, kekinian kita, dan itu tak bisa kita niscayakan. Tentunya realitas pasar bebas yang semrawut itu harus lebih dulu diperiksa agar kita bisa mengendalikan realitas dan bukan malah digilas olehnya. ”Sihir” dari romo ini berakhir, setelah dua jam lebih, semua ”terbius” oleh paparannya. Memang kuliah ini hampir menyerupai ”sihir”, banyak yang terdiam, berhenti dari tempatnya mencoba berpikir. Penyihir ?. Mungkin saja karena namanya pun dekat dengan kisah seorang penyihir cilik yang bernama Harry Potter, bedanya Romo Herry tak punya sapu terbang.
*) Chris Poerba
Untuk TAPIAN bulan Mei 2010
Sebelum diedit MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar