Oleh : Ariani Zarah Sirait (Wartawan Majalah TAPIAN, pengajar di Fakutas Film & Televisi IKJ)
Melihat film dokumenter "Gerimis Kenangan dari Sahabat yang Terlupakan" memang menyisakan perasaan bangga sekaligus tertegur pada hati penontonnya. Bangga ketika ada bangsa lain yang mengapresiasi tokoh-tokoh serta budaya Indonesia lebih baik dari kita sendiri. Dan tertegur ketika dihadapkan pada kenyataan begitu acuhnya kita dengan tradisi-tradisi yang sesungguhnya telah membentuk kita menjadi manusia berbudaya sekarang ini.
Bangsa lain itu berjarak ribuan kilometer dari negara kita, bukan negara tetangga, dan tidak pula berbagi benua yang sama. Negara itu adalah Rusia yang sebelumnya bernama Uni Soviet. Sebuah negara di Eropa yang bercuaca dingin sepanjang tahunnya, yang pada tahun tertentu di masa lalu, pernah berhubungan baik dan erat dengan negara kita ini.
Yang lebih mengejutkan lagi, dalam beberapa segmen film tersebut, setiap orang yang berkontribusi sebagai narasumber yang dengan lancar menggunakan bahasa Indonesia ini bukan saja dengan kentara menyatakan kekagumannya akan sosok beberapa orang tokoh Indonesia. Tapi juga menunjukkan ketertarikan yang serius akan budaya kuno bangsa kita. Dan kita boleh sedikit berbangga hati (atau mungkin tertegur lebih keras lagi) karena salah satu budaya yang diteliti dan terjaga artefaknya dengan baik di salah satu museum besar Rusia itu tidak lain tidak bukan: budaya batak kuno.
Tersebutlah Elena Revunenkova, seorang ahli Batak Kuno dan juga direktur museum Kunstkammer di kota St. Petersburg, Rusia. Dengan menggunakan bahasa Indonesia yang cukup lancar, wanita paruh baya ini menjelaskan tentang tradisi/agama Batak Kuno serta artefak-artefaknya yang berhasil dikumpulkan dan tersimpan di museum tersebut.
Kunstkammer yang terletak di tengah kota St. Petersburg ini telah menjadi simbol kebanggaan Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia (Russian Academy of Sciences) sejak awal abad 13. Didirikan berdasarkan perintah Peter yang Agung dan dibuka kepada khalayak umum pada tahun 1714. Tujuan dibangunnya museum ini adalah untuk mengumpulkan dan meneliti tentang pergerakan budaya manusia dan juga alam. Sekarang ini, koleksi yang dimiliki Museum Antropologi dan Etnografi Kunstkammer adalah salah satu yang terlengkap dan paling menarik di dunia. Koleksi-koleksi tersebut terdiri dari lebih dari satu juta artefak dan merupakan peninggalan dari berbagai budaya tradisional baik dari dunia lampau maupun dunia masa sekarang ini. Museum ini telah selalu menjadi pusat studi tentang peninggalan budaya manusia, termasuk 'rumah' dari para antropologi dan budayawan Rusia yang terkenal pada abad 18 sampai 19.
Di museum etnografis terbesar ketiga didunia inilah disimpan berbagai alat pertanian dan alat dayung khas batak kuno, perisai dan senjata tajam lainnya, ulos dan tenunan batak, dan peninggalan magis seperti patung-patung kayu dari kebudayaan kuno batak, serta 20 buah buku peninggalan beraksara batak kuno.
Elena sendiri menyatakan bahwa dirinya telah cukup lama meneliti budaya batak kuno dan tradisi-tradisi keagamaannya yang banyak ditulis dalam aksara batak kuno, yang kemudian mengharuskannya untuk dapat membaca dan menafsirkan aksara batak kuno tersebut dalam rangka memahami secara keseluruhan tentang sejarah dan peninggalan batak kuno.
Pada suatu kesempatan, Elena bertemu dengan seorang batak yang datang berkunjung ke museum Kunstkammer. Ia menanyakan apakah Elena dapat berbahasa batak. Elena menjawab bahwa dirinya tidak terlalu fasih berbahasa batak, tapi ia bisa membaca aksara batak kuno dengan cukup baik. Sambil tersenyum bangga, Elena mengakhiri ceritanya dengan menyatakan bahwa si perempuan batak tersebut langsung terkejut bangga campur senang akan kemampuan yang amat langka itu serta menghadiahkan Elena sebuah buku kuno aksara Batak untuk dipelajari dan disimpan di Kunstkammer.
Kita sempat pula diperlihatkan pada buku teks beraksara batak kuno tersebut yang diyakini Elena telah ditulis langsung untuk kepentingannya sendiri oleh seorang Datuk atau Pendeta Batak Kuno. Isi buku tersebut adalah ramuan-ramuan tradisional baik untuk pembuatan obat ataupun juga resep penciptaan racun. Disamping itu ditemukan Elena pula kata-kata pemujaan lain atau 'doa-doa' yang dapat membangkitkan roh-roh tertentu yang diyakini bersemayam di berbagai materi. Menurut Elena buku itu bukanlah buku bacaan biasa yang dapat dibaca sembarang orang, dan bahkan sedikit berbahaya bagi si pembaca karena banyaknya unsur magis yang terkandung didalamnya.
Sebagai seorang ahli Batak kuno, selain dianggap 'sakti' dalam membaca teks beraksara batak kuno, Elena juga tentunya amat memahami tradisi batak kuno yang dominan mengandung pemujaan terhadap roh-roh dan juga benda-benda yang didiami oleh jiwa-jiwa tertentu.
Ini diungkapkan pula oleh Elena seperti yang ditafsirkannya dalam peninggalan teks serta artefak langsung yang disebutnya sebagai Kapal Mati. Kapal Mati berisikan patung-patung kayu kecil yang berbentuk manusia (bentuknya kurang lebih seperti patung totem berukuran sedang atau patung sigale-gale tanpa pakaian dan tangan yang bergoyang di kiri kanan badan). Sebelumnya, ke dalam patung-patung kayu itu telah dimasukkan roh-roh orang mati. Dan kemudian pada upacara tertentu, patung-patung kayu yang 'berisi' tersebut dinaikkan ke dalam wadah seperti kapal kayu yang lalu di bawa ke tepian sungai. Hal ini dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap roh-roh orang mati yang disimbolkan dalam tiap-tiap patung kayu dan juga dipercaya dapat mendamaikan jiwa si orang mati.
Hingga dapat diartikan oleh Elena kebudayaan batak kuno adalah kebudayaan roh. Bagi Elena pula, menggali kebudayaan roh sangat menarik dibandingkan dengan kebudayaan yang sifatnya material. Meski diakuinya pula dalam kebudayaan materi juga tersimpan 'roh-roh'. Sebab kebudayaan materi akhirnya akan lekang oleh waktu dan akhirnya dapat disimpan peninggalannya sebagai 'kenang-kenangan' nyata dengan seribu cerita. Namun kebudayaan roh, menurutnya, terus akan melekat dan muncul sebagai ciri budaya bangsa tertentu.
Meski kini hampir semua orang Batak telah memeluk agama Protestan, Katolik, dan juga Islam, Elena yakin bahwa tradisi-tradisi agama batak kuno masih tertinggal. Terutama jika menyangkut pada upacara-upacara tradisional baik yang masih murni dipertahankan ataupun yang telah bercampur dengan kebudayaan modern.
Selain Batak, memang ada budaya kuno lain yang turut diteliti dan dikumpulkan peninggalannya di museum Kunstkamer ini, yaitu Jawa kuno. Namun pada tahun-tahun sebelumnya, museum ini sempat dipugar, dan beberapa peninggalan dari budaya-budaya lain diperintahkan untuk dipindahkan ke tempat/museum lain, kecuali untuk pojok Batak. Untuk ini, kita mungkin perlu berterimakasih pada Elena, sang direktur Kunstkammer, karena keberadaan beliau sebagai kurator dan ahli batak di museum tersebutlah, pengunjung dan peneliti tetap dapat melihat langsung peninggalan batak di museum pertama di Rusia ini. Mungkin saat ini, ditunjang oleh kemampuan Elena menjelaskan semua artefak yang tersimpan di dalamnya, pojok batak di museum Kunstkammer dapat dikatakan sebagai ruang terlengkap yang memuat tentang kebudayaan batak kuno.
Ketertarikan Elena sendiri pada budaya batak kuno memang tidak langsung dijelaskan latar belakangnya. Yang pasti, Elena sangat yakin bahwa mempelajari kebudayaan kuno berarti mempelajari kebudayaan rakyat yang hidup di masa sebelum kita. Ini penting untuk kemudian menjelaskan bagaimana sebuah suku bangsa itu hidup dan kemudian bertahan hingga masa sekarang.
Elena Revunenkova merupakan kebanggaan dan teguran kecil bagi kita. Hampir pasti, kini tidak ada orang batak yang bisa membaca aksara batak. Bahkan ahli-ahli Batak yang cukup terkenal bukan berasal dari orang Batak ataupun berbangsa Indonesia sendiri. Tapi sepertinya, tidak perlu berkecil hati juga, karena hampir semua kebudayaan kuno memang sering dilirik dan diperhatikan oleh orang lain di luar budaya tersebut. Yang berada di dalam memang sering lupa. Keberadaan Elena Revunenkova, wanita ahli Batak Kuno dari Rusia ini mengingatkan kita tentang tradisi-tradisi kuno yang mungkin lama kelamaan akan hilang secara bertahap di kepala anak muda berdarah batak. Tetapi, jika Pojok Batak dapat bertahan di dinginnya Rusia, bukan tidak mungkin tercipta Pojok Batak-Pojok Batak lain di negeri batak sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar