"MEWASPADAI BAHAYA HIV/AIDS : PERSPEKTIF ISLAM"
Siti Musdah Mulia
(Aktivis Perdamaian & Muslimah Pertama Penulis Buku Anti Poligami)
Telah Dimuat Majalah TAPIAN Edisi November
Pendahuluan
Abad ini sering disebut sebagai era globalisasi. Globalisasi mengandung arti suatu proses yang bersifat mendunia dalam kehidupan umat manusia. Maksudnya, apa yang terjadi pada suatu bangsa akan dengan mudah diketahui dan ditiru oleh bangsa-bangsa lain sehingga hal tersebut berlaku umum hampir di seluruh dunia. Proses globalisasi tersebut dimungkinkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi elektronika dan informatika. Bahkan, kemajuan di bidang teknologi informatika telah membawa kepada terjadinya transformasi peradaban dunia. Transformasi peradaban dunia berlangsung dalam proses modernisasi dan industrialisasi yang dahsyat yang pada gilirannya menciptakan perubahan pada struktur dan pranata masyarakat.
Sebagai akibat dari modernisasi dan industrialisasi tersebut muncul masyarakat modern atau masyarakat industri yang cenderung lebih mementingkan nilai-nilai material daripada nilai-nilai yang bersifat immaterial atau ruhani. Masyarakat baru tersebut memiliki ciri-ciri sebagai berikut: kecenderungan hidup yang individualistik atau pendewaan diri; kecenderungan hidup yang materialistik atau pendewaan materi; dan kecenderungan hidup hedonistik atau pendewaan terhadap hasrat badani. Kecenderungan-kecenderungan tersebut sedikit banyak sudah menggejala dalam kehidupan sebagian masyarakat Indonesia, terutama di kota-kota besar. Jelas bahwa ketiga kecenderungan tadi menyebabkan masyarakat dewasa ini amat rentan terhadap penularan HIV/AIDS.
Sebelum lebih jauh, perlu ditegaskan apa itu HIV/Aids? HIV/AIDs adalah sejenis penyakit yang dapat menimpa siapa saja di antara manusia. Penyakit ini dapat menimpa laki-laki dan perempuan; anak-anak dan lanjut usia; manusia bermoral dan tidak bermoral; manusia terdidik dan tidak terdidik; kaya dan miskin; pecandu narkoba dan bukan; prostitusi dan bukan, homo dan hetero seksual, demikian seterusnya. Untuk itu, sikap terbaik adalah bersikap positif dan konstruktif terhadap semua penderita HIV/AIDS, apa pun penyebabnya. Itulah sikap yang agamis.
HIV/AIDS telah menjadi epidemi bagi masyarakat dunia. Dari aspek manapun kita melihatnya: aspek kesehatan fisik dan jiwa, aspek sosial, aspek ekonomi dan politik dan berbagai aspek lainnya. Disepakati bahwa HIV/AIDS merupakan bencana terbesar bagi peradaban umat manusia di muka bumi. Bahkan, bahaya HIV/AIDS diprediksikan jauh lebih dahsyat dari dua Perang Dunia yang pernah terjadi.
Meskipun disepakati betapa bahayanya epidemi ini, namun sikap kita terhadap penderitanya tetap harus positif dan konstrukstif, bukan negatif dan destruktif. Kita tidak boleh menghakimi mereka sebagai bersalah, apalagi menstigmanya sebagai orang berdosa dan masuk neraka. Sebab, tidak sedikit di antara mereka tertular penyakit ini tanpa mereka sadari. Misalnya penularan melalui jarum suntik, transfusi darah, atau tertular melalui pasangan intim yang tidak diketahui telah mengidap penyakit tersebut.
Memang sulit disangkal bahwa hasil penelitian mengungkapkan kelompok rentan atau beresiko tinggi terhadap HIV/AIDs antara lain: pengguna narkoba suntik, pelaku seks bebas, pasangan dari pelaku seks bebas, penerima transfusi darah, dan anak-anak yang lahir dari orang tua penderita. Sebagian masyarakat masih memandang penyakit ini hanya khusus mengenai pelaku seks bebas dan pecandu narkoba sehingga tidak heran tumbuh semacam sikap benci, tidak peduli dan acuh, bahkan mendiskreditkan penderita. Akan tetapi, dalam realitasnya, orang-orang yang berada di luar kategori kelompok beresiko ini pun tidak tertutup kemungkinan dapat tertular.
Islam Memanusiakan Manusia
Hakikat Islam sesungguhnya terlihat pada nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya, dan salah satu bentuk elaborasi dari nilai-nilai kemanusiaan itu adalah pengakuan tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dan berasal dari sumber yang satu, dan pada akhirnya pun akan kembali ke asal yang satu, yakni Tuhan. Dalam Islam diyakini bahwa yang membedakan manusia hanyalah prestasi dan kualitas takwanya dan bicara soal takwa, hanya Tuhan semata berhak melakukan penilaian, bukan manusia (QS. al-Hujurat, 13).
Bahkan, dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa tidak ada perbedaan antara manusia yang sehat dan sakit, termasuk mereka yang mengidap HIV/Aids. Sebab, yang membedakan hanyalah prestasi takwa. Belum tentu penderita HIV/AIDS lebih rendah kualitas takwanya dari yang bukan penderita. Demikian pula sebaliknya. Untuk penilaian takwa, hanya Allah yang punya hak prerogatif. Sebagai manusia, kita hanya diperintahkan untuk berfastabiqul khairat (berkompetisi berbuat kebajikan) menuju ridha-Nya.
Islam mengajarkan bahwa keberagamaan seseorang mestinya berdampak positif bagi hubungan kemanusiaan. Karena itu, ajaran Islam sangat menekankan pada dua aspek sekaligus; aspek vertikal dan aspek horisontal. Aspek vertikal merupakan ajaran Islam yang berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara aspek horisontal berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan juga hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Sayangnya, aspek horisontal ini seringkali terabaikan dalam kehidupan beragama di masyarakat. Akibatnya, dimensi kemanusiaan yang merupakan refleksi aspek horisontal kurang mendapat perhatian di kalangan umat beragama. Kebanyakan umat beragama lebih banyak mengurusi Tuhan dari pada mengurusi sesamanya manusia. Tidak heran jika kesalehan individu menjadi hal yang mengemuka. Sebaliknya, kesalehan sosial dikesampingkan.
Oleh karena itu, para pemuka agama diharapkan dapat proaktif mensosialisasikan upaya-upaya pencegahan terhadap kedua epidemi ini karena sebagaimana disinggung dalam ayat pembuka di atas, fitnah yang boleh jadi mengambil bentuk HIV/AIDS dan narkoba, bukan hanya menimpa mereka yang dzalim atau yang memiliki resiko tinggi untuk tertular, melainkan juga akan menimpa orang-orang di luar kelompok rentan tadi atau di masyarakat sering disebut sebagai “orang-orang saleh”. Bahkan, hadis Nabi berikut memberikan sinyal yang lebih kuat akan munculnya suatu fenomena yang sangat memprihatinkan itu. Diriwayatkan dari Ummi Salamah bahwa Nabi saw bersabda: “Apabila kemaksiatan telah nampak di kalangan umatku, maka Allah swt. akan menurunkan bencana kepada masyarakat semua, tanpa pandang bulu. Saya (Ummi Salamah) bertanya: Wahai Rasulullah apakah ketika itu masih ada juga orang-orang saleh?, Nabi menjawab: masih ada. Lalu saya bertanya: bagaimana nasib mereka?, Nabi menjawab: Allah pun akan menimpakan bencana kepada mereka sebagaimana ditimpakan kepada pelaku-pelaku maksiat itu (HR. Imam Ahmad).
Pelaku maksiat mendapatkan bencana akibat kejahatan mereka, sedangkan orang saleh juga mendapat bencana karena ketidakseriusan mereka memberikan pertolongan kepada yang teraniaya” Hadis tersebut secara jelas menggambarkan bahwa dampak epidemi itu tidak bersifat "lokal", melainkan bersifat universal. Wabah epidemi dapat menjangkiti seluruh masyarakat, baik kelompok yang rentan dan beresiko maupun yang tidak. Orang lain mendapat bencana karena ketidakpedulian mereka untuk mencegah meluasnya wabah tersebut.
Karena itu, sangat diharapkan agar umat Islam, khususnya bagi para pemuka agama, untuk segera peduli dan dan berpartisipasi aktif dalam upaya-upaya penanggulangan bahaya HIV/AIDS agar masyarakat terhindar dari bencana yang mungkin lebih dahsyat.
Terakhir, tetapi tidak kurang pentingnya adalah membimbing para penderita HIV/Aids agar mereka tetap berpandangan optimis dan positif dalam menatap kehidupan. Meyakinkan mereka bahwa hidup ini belum berakhir dan mereka pun masih punya banyak kesempatan melakukan amal shaleh dan amal jariyah sebanyak-banyaknya. Mendorong mereka untuk melakukan testimoni dalam rangka advokasi dan penyadaran kepada kelompok lain yang belum terinveksi. Membujuk mereka agar jujur menerima kondisi diri mereka apa adanya. Kejujuran dan keterusterangan mereka akan membantu orang lain tidak tertular penyakit tersebut. Mengajak mereka kampanye melakukan upaya pencegahan dan meyakinkan bahwa aktivitas tersebut merupakan ibadah yang sangat tinggi nilainya di sisi Allah. Sesuai firman Allah: Barang siapa menyelamatkan hidup seseorang, maka sesungguhnya dia telah menyelamatkan hidup semua orang (QS, 5:32). Atau hadis Nabi: Seorang Muslim adalah orang yang menyelamatkan sesamanya, baik dengan perilaku maupun dengan ucapan. []
1 komentar:
emmm....
bwt kk siti sep dahh...
Posting Komentar