Kamis, 06 November 2008

Napak Tilas Teatrikal Sang Rasul Batak

Napak Tilas Teatrikal Sang Rasul Batak

Chris Poerba

( Intisari Tulisan Ini Sudah dimuat Majalah TAPIAN Edisi November)

Identitas Rasul Batak

Apabila diberikan sebuah pertanyaan kepada orang dari etnis batak yang menganut agama kristiani, ”Siapa saja nama kedua belas murid-murid yang dipilih Yesus ?”. Barangkali hanya satu dua orang saja yang dapat memberikan jawaban yang tepat. Kemungkinan besar hanya anak-anak yang masih rajin mengikuti kebaktian sekolah minggu dapat memberikan jawaban tersebut. Bahkan ironisnya banyak yang lebih mengingat murid-murid Yesus yang dalam kategori yang ’kurang baik’.

Banyak penganut agama kristiani, termasuk juga dari etnis batak kristen yang lebih mudah mengingat murid (rasul) Yesus yang bernama Zakheus sebagai ’pemungut cukai’, Rasul Thomas yang ’baru percaya setelah melihat’, Rasul Simon Petrus yang seharusnya menjadi ’batu karang yang teguh’ dan ’penjala manusia’ tapi pada akhirnya ’menyangkal tiga kali sebelum ayam jantan berkokok’, dan pastinya banyak yang lebih mengenal nama yang satu ini Judas Iskariot yang sering dinyatakan sebagai ’sang penghianat’.

Meskipun demikian bila diberikan pertanyaan kembali kepada orang batak kristen, ”Siapa sebenarnya Nommensen ?.” Layaknya seperti gemuruh paduan suara yang gegap gempita semua menyatakan, ”Dialah sang Rasul Batak !”. Sebuah pernyataan yang melesat cepat, yang langsung berasal dari ’alam bawah dasar’ kebudayaan batak. Sebuah pernyataan yang mungkin bagi beberapa etnis, agama dan aliran kepercayaan yang lain terkesan terlalu mengada-ada.

Ingwer Ludwig Nommensen dilahirkan di Nortdstrand sebuah pulau kecil di pantai pebatasan Denmark dan Jerman pada tanggal 6 Februari 1834. Nommensen berasal dari keluarga yang sangat miskin. Penderitaan tidak pernah jauh dalam kehidupannya. Untuk meringankan beban keluarga terutama ayahnya yang sakit-sakitan, Nommensen sudah mulai bekerja saat masih berumur 8 tahun. Berbagai pekerjaan sudah dijalani dari menggembalakan domba orang sampai menjadi buruh tani. Suatu ketika kakinya patah ketika ditabrak kereta kuda dan hampir mengakibatkannya tidak dapat berjalan sama sekali. Nommensen mulai tertarik ambil bagian dalam misi penginjilan setelah mendengar cerita dari teman-temannya mengenai kisah seorang misionaris yang mengabarkan injil hingga jauh ke pelosok terpencil di daerah pedalaman. Nommensen kemudian bernazar kepada Tuhan apabila kakinya yang patah dapat berjalan kembali maka dia akan pergi menjadi pewarta injil bagi orang yang belum mengenalnya. Nommensen akhirnya sembuh dan dapat berjalan kembali meskipun selalu menggunakan tongkat. Setelah menyelesaikan sekolah penginjil, keinginannya sebagai misionaris bagi masyarakat yang masih terpencil dimulai. Pada tahun 1862 Nommensen akhirnya menginjakkan kakinya di bumi Tanah Batak setelah sebelumnya mengunjungi Padang dan Barus. Dengan sangat antusias Nommensen akhirnya memilih daerah pedalaman Silindung sebagai misi pelayanannya.

Singkatnya, karya-karya Nommensen tidak hanya terbatas sebagai misionaris yang hanya mengabarkan injil. Dalam pertemuannya dengan kebudayaan lokal di batak, Nommensen juga menyesuaikan dirinya sebagai pengobat bagi penduduk yang terkena penyakit. Keahlian yang semakin mendukungnya dapat cepat beradaptasi dengan kebudayaan lokal. Puncaknya karya-karya yang diwujudkan oleh Nommensen, tidak hanya terbatas dalam keberhasilan ’kristenisasi’ semata seperti mengumpulkan jemaat pertama di Huta Dame (Kampung Damai), membangun gereja di Pearaja yang sekarang ini menjadi pusat Gereja HKBP, membuka sekolah penginjilan bagi penginjil batak pribumi. Karyanya juga terlihat dalam berbagai sektor lain seperti membuka lahan-lahan yang produktif untuk pertanian, memperbaiki kualitas peternakan, membuka balai-balai pengobatan dan termasuk membuka sekolah pendidikan bagi calon guru.

Meskipun demikian, yang paling penting untuk dicatat Nommensen adalah salah satu orang yang dapat mempertemukan dua buah kebudayaan yang berbeda dengan cara- cara dialogis. Bahkan dengan berpihak kepada kebudayaan batak lokal yang saat itu sangat rentan untuk ditaklukan (dominasi), padahal hal ini sangat memungkinkan selain Tanah Batak sedang dalam ekspansi kolonial Belanda, selain itu juga secara sosiologis hubungan antara satu marga dengan marga lainnya, satu kampung dengan kampung lainnya belum dapat dikatakan harmonis. Kebudayaan Batak pada kala itu masih mengalami intensitas ketegangan yang tinggi, dan sewaktu-waktu dalam memicu konflik yang berujung menjadi perpecahan termasuk perang saudara di dalamnya. Dan Nommensen berani mengambil sikap yang tetap netral dan mengutamakan cara-cara dialogis saat berada dalam intensitas ketegangan seperti itu Nommensen memperkenalkan Suku Batak kepada peradaban baru dengan pendekatan menghargai nilai-nilai kemanusiaan dari setiap kebudayaan yang berbeda.

Tahun 1891, dalam kegiatan sosialisasi penginjilan yang semakin berhasil Nommensen pindah ke Kampung Sigumpar. Pada tanggal 23 Mei 1918, di kampung ini akhirnya Nommensen menghembuskan nafas terakhirnya, dalam usia 84 tahun setelah bekerja menjadi pelayan bagi Suku Batak selama 57 tahun.

Terpilih Untuk Bersaksi

Pada tanggal 26 September 2008, digelar pagelaran drama dan tari untuk mengenang kisah perjalanan hidup Dr. Ingwer Ludwig Nommensen selama 57 tahun menyebarkan Injil di Tanah Batak dengan Tema Terpilih Untuk Bersaksi. Kegiatan ini merupakan persembahan yang dilakukan oleh Naposobulung dalam rangka Parheheon NHKBP Rawamangun 2008. Sekaligus juga dimaksudkan dalam penggalangan dana bagi Pembangunan Fasilitas Pendidikan Gedung Sekolah Minggu HKBP Rawamangun. Seperti umumnya kegiatan gerejawi lainnya, maka sebelum memulai pertunjukan drama dilakukan kebaktian terlebih dulu.

Saat tirai terbuka dan pertunjukan dimulai terlihat setting kebudayaan batak kuno pada tahun 1834. Panggung sangat hening dan sampai beberapa menit dikondisikan sangat gelap dan mencekam. Terlihat sebuah perayaan pemujaan yang dipimpin seorang Datu (dalam buku acara disebut sebagai Parbegu) pada sebuah kampung yang bernama Kampung Silindung. Datu memimpin jemaatnya untuk memohon berkat kepada Mulajadi Na Bolon, memohon berkat agar hujan yang bisa turun sehingga pertanian dapat berjalan baik serta dijauhkan dari kuasa roh-roh jahat. Datu pun berkata, ”Ale Ompung Mulajadi Na Bolon, I son ale pinompar, Jalo ma tonggo-tonggo nami on...........”. Prosesi ritual ini dilanjutkan dengan memotong seekor ayam yang langsung diiringi tarian gondang habonaran yang dipimpin oleh datu beserta raja (kepala kampung).

Pemujaan ritual ini terganggu, saat pengawal-pengawal raja menangkap dua orang misionaris dan langsung menyuruhnya untuk sujud dan menyembah kepada raja. Datu menyarankan kepada raja agar dua orang kulit putih itu dibunuh. Raja menyetujuinya, kedua orang yang dijuluki ’si bottar matta’ di bunuh, tubuhnya di mutilasi, dan jantungnya diambil untuk persembahan kepada Mulajadi Na Bolon. Perayaan yang sebelumnya terganggu bahkan semakin lebih meriah lagi. Seorang penghulu perang memimpin tarian sambil mengitari tubuh misionaris yang sudah dimutilasi. Layaknya sebuah tarian kemenangan, maka adegan pertama dari drama ini selesai.

Adegan kedua dengan setting yang berbeda langsung dimulai. Johan Von Elstrom seorang prajurit Belanda sedang mengalami kegelisahan yang dalam. Johan di datangi seorang sipir dari pusat untuk memastikan hukuman mati pasti dijalankan kepadanya. Petugas sipir yang baru datang tersebut menawarkan seorang pendeta dari Sumatra Utara untuk nantinya membacakan doa sebelum Johan dieksekusi tembak mati. Pendeta itu bernama Ingwer Ludwig Nommensen sebagai satu-satunya pendeta yang berasal dari Jerman. Johan Von Elstrom menolak keras anjuran dari petugas sipir yang juga teman dekatnya.

Keseluruhan adegan dalam drama ini tidak lebih sekitar 11 adegan. Tokoh Nommensen sebagai subjek utama dalam drama ini dimunculkan pada adegan ketiga. Saat itu Huta Silindung sedang menjalani keseharian hidup berjalan normal yang divisualisasikan dengan anak-anak kecil yang sedang asyik bermain, inang-inang sedang membersihkan beras, termasuk juga seorang pemuda yang hilir mudik dalam keadan mabuk berat sambil terus memegang botol minuman dan menghampiri temannya yang sedang berjudi. Raja juga sedang berbincang-bincang dengan datu. Tiba tiba muncul seseorang yang berjalan tertatih-tatih sambil menggunakan tongkat berkata, ”Syalom dan Horas”. Nommensen hadir di tengah kampung ditemani oleh seorang pengawalnya menemui Raja Panalangkup. Raja marah dan mengganggap Nommensen sebagai mata mata Belanda dan dianggap seperti orang yang sakit jiwa dan sedang kerasukan roh jahat. Nommensen pun menyatakan kehadirannya bukan mata-mata dan tidak sedang sakit dia menyatakan datang kesini untuk mengajarkan cinta kasih bukan kekerasan. Raja lantas semakin mengamuk dan mengancam akan membakar rumah Nommensen bahkan pada saat itu juga dia nyaris dibunuh. Nommensen diselamatkan oleh harmonicanya, yang selalu di bawanya pergi. Suara harmonicanya mengundang keingintahuan dari warga tentang alat musik ini. Harmonica ini yang menyejukkan sekaligus menyelamatkan nyawa Nommensen dari kemungkinan dibunuh saat itu.

Dalam beberapa adegan memang digambarkan Nommensen memiliki kuasa yang di imaninya berasal dari Tuhan. Terlihat saat Nommensen akan disembelih sebagai persembahan bagi Sombaon, maka saat itu juga langit bergemuruh dan hujan deras turun. Adegan lain juga menggambarkan sisi rasionalitas yang menyelamatkan nyawa Nommensen. Upaya pembunuhan kepada Nommensen juga dilakukan dengan memberikan makanan bubur beracun. Nommensen beruntung mengingat bubur yang beracun itu terlebih dulu sudah dimakan oleh anjing kesayangannya.

Prosesi keberhasilan dari ajaran kasih kristenisasi di Tanah Batak dalam drama ini juga divisualisasikan dengan jalan cerita yang cukup wajar. Pada adegan ke-9 dalam drama ini, setelah nyawa Nommensen yang sedang diujung tanduk selamat maka pada hari keempat tercium bau busuk ke segala penjuru desa. Bau busuk ini ditimbulkan dari kerbau yang sebelumnya akan dipersembahkan kepada Sombaon. Bahkan daging kerbau yang sudah busuk ini juga dimakan oleh warga kampung, alhasil banyak warga kampung yang mengidap penyakit. Pada saat ini Nommensen menawarkan bantuan pengobatan kepada warga tersebut dengan persyaratan warga-warga kampung mau meninggalkan tradisi pemujaan kepada Sombaon. Inilah titik awal penerimaan warga kampung dalam ajaran-ajaran kasih dan kemanusiaan yang dilakukan Nommensen. Warga Kampung semakin membuka diri dan membuatkan rumah bagi Nommensen. Kampung ini sendiri diberikan nama oleh Nommensen menjadi Huta Dame (Kampung Damai). Sebuah prosesi perjalanan ajaran-ajaran kasih yang masuk di akal dan tidak mengada-ada.

Menarik dalam drama ini menampilkan sosok Nommensen yang manusiawi. Sosok yang memiliki kegelisahan yang teramat dalam saat merasa bahwa dirinya gagal dalam pewartaan injil di Huta Silindung. Hal ini disebabkan karena sampai saat itu belum mendapatkan tempat tinggal, ada warga yang siap untuk membunuhnya termasuk juga khotbahnya yang selalu dijadikan bahan lelucon. Bahkan Nommensen juga tidak ingin nasibnya seperti Rasul Paulus. Kesedihan dan kegalauan ini disampaikannya kepada Pendeta Klammer. Kegelisahan Nommensen ini disampaikan kepada Pendeta Klammer yang digambarkan sedang siap untuk melaksanakan sebuah kebaktian pertamanya.

Dalam perjalanan hidup Nommensen, ternyata kegelisahan adalah salah satu yang memicunya untuk mengabarkan ajaran-ajaran kasih hingga ke daerah-daerah pelosok pedalaman. Kegelisahan yang tidak menyebabkan kasih hanya berujung pada pencapaian Huta Dame sebagai institusi semata, melainkan kasih yang terus menerus harus diwartakan.

2 komentar:

ricardo mengatakan...

syalom,horas.
Saya sangat terkesan membaca cerita sejarah ini,dan saya sangat ingin sekali menampilkan drama nomensen saat natal NHKBP Sumedang nanti,bisa tolong saya untuk memberikan scrip lengkapnya?mauliate godang sebelumnya.

ricardo mengatakan...

syalom,horas.
Saya sangat terkesan membaca cerita sejarah ini,dan saya sangat ingin sekali menampilkan drama nomensen saat natal NHKBP Sumedang nanti,bisa tolong saya untuk memberikan scrip lengkapnya?mauliate godang sebelumnya.