Rabu, 12 November 2008

Sumpah Pemuda dan Kegelisahan Pemuda


Sumpah Pemuda dan Kegelisahan Pemuda

Chris Poerba

Bulan Oktober merupakan bulan yang terbilang sangat penting dalam sejarah dan eksistensi Bangsa Indonesia. Pada bulan ini dirayakan sebuah perayaan besar yang juga dapat dikatakan sebagai rahim kelahiran sebuah semangat dan satunya rasa, yang pada akhirnya disepakati menjadi Indonesia. Tanggal 28 Oktober dirayakan sebagai Hari Sumpah Pemuda. Pada tahun ini maka genaplah sudah 80 tahun peringatan hari kelahiran Sumpah Pemuda. Hari Sumpah Pemuda disepakati dan merupakan hasil rumusan, kesepakatan dan sumpah setia pemuda-pemudi Indonesia pada Kongres Pemuda II, yang berlangsung 28 Oktober 1928 di Jakarta. Sumpah setia dibacakan: Pertama Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia. Kedoea Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia. Ketiga Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.

Kongres Pemuda II ini merupakan kelanjutan dari Kongres Pemuda I yang dilangsungkan pada hari Minggu, bertempat di Gedung Oos-Java Bioscoop,dengan pembicara Poenormowoelan dan Sarmidi Mangoensarkono yang membahas perlunya pendidikan kebangsaan bagi anak. Sesi berikutnya, yang tidak kalah pentingnya, adalah saat Soenario dan Ramelan memaparkan pentingnya nasionalisme dan demokrasi, selain gerakan kepanduan. Dan bahwa gerakan kepanduan tak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan yang dilaksanakan sejak dini dapat mendidik anak-anak lebih disiplin dan mandiri, dua faktor penting dalam perjuangan.

Gagasan dan semangat dilaksanakannya Kongres Pemuda berasal dari inisiatif Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), yaitu organisasi pemuda yang terdiri dari berbagai latar belakang etnis dan wakil organisasi pemuda, seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen, dan Jong Islamieten. Hadir juga empat orang wakil dari pemuda Tiongkhoa sebagai peninjau. Kongres Pemuda ini difasilitasi oleh sembilan orang panitia kongres dan dihadiri 71 peserta. Amir Sjarifuddin merupakan salah satu anggota panitia kongres, dengan jabatan sebagai bendahara dan sekaligus wakil dari Jong Bataks.

Para pemuda-pemudi memiliki kegelisahan dan kebutuhan yang sama akan perlunya sebuah rasa bersama, rasa persatuan, sehingga berharap banyak agar kongres pemuda ini dapat memperkuat semangat persatuan dan kesatuan. Seperti yang dinyatakan pada saat pembukaaan Kongres Pemuda I, hari Sabtu tanggal 27 Oktober, di Lapangan Banteng. Soegondo dan Moehammad Yamin menyatakan adanya korelasi dan hubungan yang kuat antara persatuan dan pemuda. Pemuda dapat dijadikan sebuah gerakan sosial untuk memperkuat persatuan dan kesatuan. Sehingga Kongres Pemuda ini juga dapat dinyatakan sebagi rahim dan cikal bakal bagi kelahiran bayi Indonesia.

Sebelum dibacakannya rumusan sumpah setia, yaitu Sumpah Pemuda, pada Kongres Pemuda ini juga diperdengarkan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman, yang hanya dimainkan dengan biola. Pembacaan teks Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 berlangsung di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat, di rumah milik orang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong. Sekarang rumah ini menjadi Museum Sumpah Pemuda.

Pada pembukaan Kongres Pemuda I di Lapangan Banteng, selain menyatakan kegelisahan bersama dan pentingnya rasa persatuan, para peserta juga memaparkan uraian mengenai lima faktor yang dapat memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, hukum, adat, pendidikan, dan kemauan. Faktor-faktor ini tentunya juga tidak bisa dilepaskan dari konteks pada waktu itu, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa faktor-faktor itu masih penting dan harus tetap dijaga, dirawat serta diwariskan secara terus-menerus kepada generasi berikutnya.

Indonesia saat ini tentu saja berbeda bila dibandingkan dengan saat kelahiran Sumpah Pemuda. Indonesia sekarang sudah berusia 63 tahun, sedangkan Sumpah Pemuda sendiri telah berusia 80 tahun. Dalam usia yang sudah sangat dewasa, jelas banyak pergulatan dan pergumulan yang terus mengancam rasa persatuan dan kesatuan. Sehingga untuk saat ini juga perlu diantisipasi faktor-faktor yang dapat mengancam rasa persatuan dan kesatuan. Berbagai masalah muncul ke permukaan, seperti ancaman disintegrasi dan gerakan separatisme, yang berupaya mendapatkan kedaulatan/kemerdekaan dengan cara memisahkan diri dari bingkai kesatuan Republik Indonesia. Sebuah ancaman terhadap Bhinneka Tunggal Ika.

Gerakan-gerakan separatisme ini pada dasarnya muncul dan semakin marak akibat terjadinya kesenjangan kesejahteraan yang belum terjembatani hingga saat ini. Bahkan saat ini pemerataan ekonomi yang seharusnya menjadi tolak ukur dari kesejahteraan layaknya seperti jurang yang semakin terbuka lebar dengan adanya ketimpangan pemerataan antara pusat dan daerah, ketimpangan antara pulau besar dengan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau terluar. Maka pemerataan adalah kata kunci yang harus terus diupayakan dalam menjaga persatuan. Pada momen inilah pemuda tetap memiliki peran dalam menjaga dan merawatnya.

Setahun yang lalu, tepatnya 28 Oktober 2007, pada hari Minggu bertempat di Gedung Arsip Nasional Jalan Gajah Mada, para pemuda-pemudi yang tergabung dalam Barisan Pergerakan Kaum Muda Indonesia juga menyatakan sikap yaitu ‘Ikrar Kaum Muda Indonesia,’ dengan tema sentral ‘Saatnya Kaum Muda Memimpin’. Barisan Pergerakan Kaum Muda Indonesia ini masih bernuansa semangat Sumpah Pemuda dengan semboyan Untuk Indonesia yang berkeadilan, bermartabat dan sejahtera. Acara ini digagas oleh pemuda dari berbagai etnis dan profesi, setidaknya terdapat politikus, sejarawan, aktivis lingkungan hidup, peneliti sosial dan budaya, pengamat politik dan ekonomi, rohaniawan, penyair sampai musisi.

Ikrar Kaum Muda Indonesia jelas merupakan kegelisahan para pemuda-pemudi saat ini. Kegelisahan ini muncul karena kaum muda menganggap cita-cita mulia bangsa yaitu kesejahteraan bersama sudah bergeser, seperti yang termaktub dalam pernyataan Ikrar: kekayaan yang satu hanya mungkin didapat dari kesengsaraan yang lain, kesetaraan dan keadilan yang pernah digariskan para pendiri para pendiri bangsa sebagai landasan hidup bersama dianggap sebagai nyanyian usang dari masa lalu, kekayaan alam habis dikuras meninggalkan kehancuran lingkungan yang tidak terbayar, seperti dihantui kutuk sejarah menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa bangsa. Sementara pada pasca reformasi politik 1998 krisis semakin terasa nyata, seperti kemiskinan, pengangguran yang merajalela, bangkitnya komunalisme, mencuatnya sentimen etnis dan agama, dan sebagainya.

               
Dimuat di Majalah TAPIAN Edisi Oktober 2008

Tidak ada komentar: