Senin, 12 Januari 2009

Warisan Kebudayaan

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/10/00332352/warisan.kebudayaan

Warisan Kebudayaan

Sabtu, 10 Januari 2009 | 00:33 WIB
Jaya Suprana

Panggung warisan kebudayaan Indonesia sedang diguncang tragedi aneka ragam sikap dan perilaku negatif, kriminal sampai destruktif.

Ada yang sebenarnya sudah, tetapi masih ingin lebih kaya raya lagi dengan sibuk mengoleksi benda-benda purbakala melalui jalur ilegal yang sengaja dilegalkan. Ada yang lincah menyelundupkan benda-benda purbakala seolah semacam olahraga kaum berduit belaka. Ada yang merobohkan, berarti memusnahkan bangunan historis sekadar demi bisa memanfaatkan lahannya untuk mendirikan pusat perbelanjaan karena lebih memuja modernisasi ketimbang warisan kebudayaan masa lalu.

Ada yang bukan menelantarkan, tetapi merusak situs purbakala yang tergolong warisan kebudayaan bangsa yang nilai harganya tidak terjangkau oleh uang. Segenap kisah tragedi itu makin terasa tragis apabila kita melirik sikap dan perilaku bangsa dan negara lain terhadap perbendaharaan warisan kebudayaan mereka masing-masing.


Singapura

Negara tetangga kita yang baru memproklamasikan kemerdekaan mereka 20 tahun setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia adalah Republik Singapura. Suatu negara (sebenarnya: kota) yang bukan hanya kecil, namun malah sangat kecil karena luasnya lebih kecil dibandingkan bukan negara, tetapi cukup ibu kota Republik Indonesia. Bukan hanya dalam hal keluasan wilayah, tetapi juga dalam hal warisan kebudayaan apalagi kebudayaan purbakala, Singapura sama sekali bukan tandingan Indonesia. Namun, sungguh mengesankan bagaimana Singapura memperlakukan warisan kebudayaan mereka yang relatif nothing dibandingkan dengan kekayaan warisan kebudayaan Indonesia yang termasuk superlatif di Planet Bumi ini!

Meski praktis tidak memiliki warisan purbakala—kecuali segelintir fosil—Singapura serius memerhatikan, memedulikan, merawat, melindungi, melestarikan, bahkan mendayagunakan warisan kebudayaan nonpurbakala mereka sebagai komoditas industri pariwisata yang memang di samping shopping merupakan andalan utama pemasukan devisa nagara. Bangunan-bangunan historis, termasuk perumahan biasa, diinventarisasi lalu dicanangkan sebagai warisan kebudayaan bangsa sambil dilindungi jangan sampai diusik, apalagi dimusnahkan oleh angkara murka modernisasi.

Dengan cermat, bahkan disertai rasa hormat dan bangga, Singapura gigih menjunjung tinggi harkat dan martabat harta perbendaharaan warisan kebudayaan yang relatif miskin dibandingkan dengan harta perbendaharaan warisan kebudayaan bangsa dan negara Republik Indonesia yang tiada tara di marcapada ini! Selayaknya kita merasa pilu membandingkan bagaimana perlakuan terhadap perbendaharaan warisan kebudayaan Indonesia yang mahakaya raya dengan perlakuan terhadap warisan kebudayaan Singapura yang relatif mahamiskin itu! Atau, mungkin justru akibat kita sangat mahakaya raya maka kita merasa kurang perlu menghargai, apalagi melestarikan perbendaharaan warisan kebudayaan yang berlimpah ruah itu! Ibarat sejuta rupiah bagi kaum miskin sangat berharga, bagi para triliuner memang tidak ada artinya!


Dubai

Apabila dirasa masih kurang tragis, mari kita lirik apa yang terjadi di Dubai. Seperti Singapura, kota kebanggaan Uni Emirat Arab, Dubai, juga miskin warisan kebudayaan purbakala. Yang eskis di kota hipermodern itu bukan bangunan purbakala, tetapi maksimal dahulu kala karena rata-rata berusia maksimal puluhan tahun akibat petilasan purbakala di kawasan padang pasir memang relatif minim.

Dalam hal perbendaharaan warisan kultural-arsitektural historis dibandingkan dengan Indonesia, jelas Dubai jauh lebih miskin. Berada di kawasan padang pasir Dubai mendadak menjadi mahakaya raya baru sejak dasawarsa keenam abad XX akibat ditemukannya sumber minyak bumi.

Mirip Singapura, kota Dubai didominasi bangunan pencakar langit ultramodern lebih gemerlap dan lebih spektakuler ketimbang sang ibu kota UEA sendiri, Abu Dhabi. Di antara gedung-gedung yang belum terlalu mencakar langit di tengah kota Dubai adalah bangunan yang kini digunakan sebagai outlet waralaba kebudayaan konsumtif AS, Hard Rock Cafe.

Karena sudah dianggap ketinggalan zaman, pemerintah kota Dubai ingin merobohkan bangunan gedung tempat kini Hard Rock Cafe berada untuk mendirikan gedung baru yang lebih megah mencakar langit. Di luar dugaan, rencana merobohkan bangunan belum terlalu kuno di mana kafe itu bercokol sempat memicu reaksi protes dan perlawanan luar biasa gegap gempita!

Bangunan yang ditongkrongi Hard Rock Cafe sebenarnya bukan purbakala (bahkan dahulu kala pun belum), tetapi ternyata dianggap masyarakat Dubai sebagai sebuah situs cultural heritage kota Dubai yang wajib dihargai, dihormati, dibanggakan, maka dilindungi demi dilestarikan. Pokoknya, tidak layak, maka tidak boleh dirobohkan! Akibat sedemikian butuhnya masyarakat kota Dubai terhadap warisan kebudayaan, sampai bangunan Hard Rock Cafe pun mereka lindungi dan pertahankan mati-matian hingga tetes darah penghabisan. Memang lain padang, lain belalang.

Jaya Suprana Budayawan Pencinta Warisan Kebudayaan Nusantara

Tidak ada komentar: