[ Jum'at, 09 Januari 2009 ]
Benang Merah Situs-Situs Majapahit
19 April 2006. Menbudpar Jero Wacik berkunjung ke sejumlah situs bekas Kerajaan Majapahit di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Kunjungan yang juga diikuti oleh sejumlah pengurus Yayasan Kerjasama Kebudayaan Indonesia-Jepang Nihindo itu diiringi obsesi besar.
Pada kesempatan kunjungan tersebut, Jero Wacik mengungkapkan komitmen pemerintah pusat yang akan melakukan rekonstruksi situs bekas Kerajaan Majapahit. Upaya tersebut, kata Jero Wacik, secara finansial akan mendapat sokongan dari Nihindo. Usai kunjungan itu, Jero Wacik meminta Pemkab Mojokerto untuk menyusun tim pengembangan, sekaligus membuat proposal rencana kegiatan.
Selang sebulan kemudian proses penyusunan proposal pengembangan situs bekas Kerajaan Majapahit, memasuki babak akhir. Tim telah menyelesaikan proposal yang digodok oleh tim beranggotakan staf Bappeda dan Disparta Kabupaten Mojokerto, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim di Trowulan Mojokerto, Pusat Pengembangan Kebudayaan, Disparta dan Bappeprov Jatim, serta LSM Gotrah Wilwatikta. Proposal lalu dipresentasikan tim di hadapan Menbudpar Jero Wacik di Jakarta.
Anam Anis salah satu anggota Tim Pengembangan Situs Bekas Kerajaan Majapahit, mengemukakan, dalam proposal yang akan diajukan ke Menbudpar Jero Wacik, antara lain berisi sejarah Kerajaan Majapahit, tahapan-tahapan rekonstruksi yang pernah dilakukan, serta rencana kerja. Dalam poin rencana kerja, dipaparkan empat tahapan.
Pertama, pemetaan batas-batas Kerajaan Majapahit. Untuk pelaksanaan tahapan ini, tim merencanakan pelaksanaan dialog nasional dengan target menyepakati batas-batas Kerajaan majapahit dengan tiga referensi dasar. Yakni, peta pengembangan hasil kajian sejarawan Mac Claine Pont pada 1924, peta kanal yang dikeluarkan oleh Bako Surtanal pada 1985, dan hasil kajian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Jogjakarta pada 2004. ''Dalam dialog nasional diharapkan akan ada kesepakatan para ahli arkeologi dan sejarawan tentang kawasan cagar budaya peninggalan Kerajaan Majapahit,'' kata Anam Anis kala itu.
Sesuai kajian sejarawan Mac Claine Pont pada tahun 1924, di wilayah Trowulan dan Jatirejo terdapat 28 titik peninggalan cagar budaya. Antara lain, Lapangan Bubat, Candi Muteran, Candi Gentong, Candi Tengah, Jati Pasar, Paseban, Candi Siwa, Kampung Prajurit dan Kampung Punggawa Candi Budha.
Sedangkan dari hasil penelitian Balai Arkeologi Jogjakarta pada 2004 diperoleh kesimpulan, bahwa batas tepi Kerajaan Majapahit ada di empat lokasi. Di sudut empat lokasi itu ditandai dengan temuan arca berbentuk yoni. Keempatnya berada di Desa Tugu Sumber Rejo, Kecamatan Peterongan, Jombang (Yoni Tugu); di Desa Dukuh Dimoro, Kecamatan Mojoagung Jombang (Yoni Gambar); di Desa Lebak Jabung Kecamatan Jatirejo Mojokerto (Yoni Lebak Jabung); dan di Desa Klinter Rejo Kecamatan Sooko Mojokerto (Yoni Klinter Rejo).
Kedua, mengadopsi hasil kajian yang dilakukan Mac Claine Pont pada 1924 dan divisualisasikan dalam gambar tiga dimensi (3D). Ketiga, upaya rehabilitasi benda cagar. Keempat, upaya rekonstruksi pusat Kerajaan Majapahit. Dari hasil kajian tim, pusat Kerajaan Majapahit diperkirakan berada di Kecamatan Trowulan dan Kecamatan Jatirejo dengan luas mencapai 9 km x 11 km.
Ditambahkan Anam Anis, dalam konsep pengembangan yang digagas kali ini, warga di lingkungan Trowulan akan menjadi subyek dari proyek pengembangan. Karena kegiatan ini berskala besar, maka realisasinya akan berlangsung secara bertahap dan membutuhkan waktu lama.
Maka 3 November 2008, pembangunan Majapahit Park di Trowulan dimulai. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik meletakkan batu pertama pembangunan ''show room'' budaya peninggalan kerajaan terbesar di Nusantara itu. Pembangunan Majapahit Park di atas lahan seluas 2.000 meter persegi itu ditarget rampung 2009.
Namun apa lacur? Diduga imbas proyek itu, situs-situs hancur. Pembangunan dihentikan sementara.
Lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Gotrah Wilwatikta Mojokerto mengatakan pemasangan pondasi PIM yang sudah merusak cagar budaya disebabkan pembangunan itu mengabaikan pembacaan peta pusat Kerajaan Majapahit para arkeolog tentang titik situs.
''Semestinya sebelum mengerjakan proyek PIM lebih dulu membaca secara utuh letak-letak situs yang ada di dalam tanah. Sehingga tidak terjadi perusakan seperti ini,'' ungkap Yazid Qohar salah satu pengurus Gotrah Wilwatikta, Mojokerto.
Menurut pria yang juga anggota DPRD Kabupaten Mojokerto ini, pembacaaan letak situs pusat kerajaan Kota Majapahit sebelumnya memang pernah digagas oleh lembaga yang membidangi cagar budaya itu. Tepatnya pada tahun 1992 saat Kabupaten Mojokerto mengusulkan akan membangun pusat informasi seputar Kerajaan Majapahit. Pada saat itu Bupati Mojokerto dijabat oleh Mahmoed Zain.
Menurut Yazid, menanggapi usulan pendirian Pusat Informasi Majapahit yang kiranya mempermudah masyarakat untuk lebih tahu seputar kerajaan terbesar abad 13-14 itu memang mendapat kesulitan.
Diantaranya letak situs pusat Kota Majapahit yang berada di sekitar perumahan penduduk, anggaran untuk membangun PIM dinilai cukup tinggi yakni sebesar Rp 400 miliar, serta mengharuskan pembacaan letak-letak situs pusat kerajaan yang kini sudah tertimbun tanah akibat bencana alam. Tentunya tetap melibatkan para arkeolog cagar budaya.
''Karena di sekitar area yang akan dibangun PIM itu banyak situs peninggalan kerajaan. Salah satunya berbentuk keraton yang diyakini sebagai tempat tinggal salah satu petinggi kerajaan,'' jelasnya.
Situs sebagai tempat petinggi kerajaan yang berada di selatan museum, terang Yazid dibuktikan dengan adanya bekas peninggalan berbentuk rumah singgah ber-arsitektur kerajaan. Semisal terdapat dapur masak yang ukurannya melebihi dapur rumah penduduk dan berada di sekitar keraton Majapahit. Dan terdapat kanal-kanal di sekitar pusat kerajaan. ''Melihat fakta-fakta yang ada diyakini bahwa situs itu bukan rumah penduduk biasa. Melainkan milik salah satu petinggi kerajaan,'' tuturnya.
Tidak saja untuk mengetahui letak dan posisi situs yang berhubungan langsung dengan pusat kota, pembacaan arkeologi dimaksudkan agar rencana pembangunan PIM bisa sinkron dengan tujuan semula. Yakni selain diambil manfaat pembangunan juga didasari pelestarian budaya Kerajaan Majapahit.
''Bahkan kami pernah memaparkan konsep pembangunan PIM yang dibuat dari berbagai usulan. Termasuk para arkeolog dan penggabungan peta kerajaan dari berbagai versi,'' cetusnya.
Namun ditengah usulan pembacaan sentral pusat kota kerajaan yang dikenal termegah di dunia belum terlaksana, muncul gagasan Majapahit Park sebagai pengganti PIM oleh pemerintah pusat. Akan tetapi tanpa lebih dulu membaca situs dan konstruksi kerajaan yang berada dalam tanah. ''Tapi begitu ada gagasan Majapahit Park banyak pihak yang menolak. Termasuk tim evaluasi dari Gotrah. Karena dinilai mengutamakan manfaat tanpa didasari pelestarian, '' jelasnya.
Tim evaluasi Gotrah Wilwatikta sendiri tergabung dari beberapa pihak, diantara koordinator Gotrah Wilwatikta sendiri Anam Anis, dua arkeolog dari UGM salah satunya diketahui bernama Moerdjito, satu dari arkeolog UI dan BPPP.
Yazid menambahkan penolakan tidak saja datang dari aktivis dan tim evaluasi Gotrah Wilwatikta, melainkan berasal dari berbagai elemen yang melaporkan dampak pembangunan Majapahit Park pada situs. ''Namun saat kami menyampaikan (laporan masyarakat, Red) kepada BPPP, mereka tidak merespons. Dengan alasan tidak dilengkapi data yang konkret,'' beber Yazid.
Tidak saja mengabaikan berbagai usulan tim evaluasi Gotrah Wilwatikta yang sudah mendiskusikan panjang usulan PIM, megaproyek yang dinamai Majapahit Park pun lenggang kangkung.
Dengan kucuran dana tahap awal pembangunan dari Menteri pariwisata dan Kebudayaan (Menparbud) senilai Rp 20 miliar akhirnya terlaksana. Akibatnya pemasangan pancang cungkup PIM tidak memedulikan kelestarian dan cagar budaya situs keraton Majapahit yang ada di dalamnya. ''Kalau sudah begini (terjadi kerusakan situs, Red) jalan satu-satunya pembangunan harus dihentikan. Bila tidak jelas kerusakan akan merambat pada situs yang lain,'' imbuhnya. (ris/yr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar