AMIR SJARIFOEDDIN [HARAHAP]: SEORANG KRISTEN NASIONALIS[1]
dihantar oleh: Pdt. Dr. Jan S. Aritonang[2]
Pengantar
1. Membicarakan seorang tokoh yang diberi stigma atau cap Komunis, ideologi yang [sempat] terlarang di negeri ini, bukanlah pekerjaan yang sederhana dan tanpa risiko. Apalagi kalau pembicaraan ini disebut sebagai bagian dari upaya meluruskan sejarah. Sebab sejarah – betapa pun merupakan salah satu disiplin ilmu yang berpegang pada prinsip objektivitas – tidak bisa sepenuhnya lepas dari subjektivitas ataupun kepentingan tertentu. Sebagai seorang Kristen, saya tentu tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari jatidiri ini, kendati saya - sebagai seorang pelajar sejarah - berupaya untuk menyajikan catatan sederhana ini berdasar data dan informasi yang seobjektif mungkin.
2. Percakapan ini kita adakan dalam rangka mengenang dan memperingati HUT ke-101 Amir Sjarifoeddin (27 Mei 1907 – 27 Mei 2008). Tetapi momen ini menjadi penting tidak hanya karena hari ini memang merupakan HUT beliau, melainkan juga karena pada hari-hari ini kita masih berada dalam suasana peringatan seabad Hari Kebangkitan Nasional (yang semoga tidak hanya menjadi semacam rangkaian seremoni dan formalitas, melainkan juga bermakna menggali-ulang semangat para perintis dan pejuang kebangkitan dan kemerdekaan bangsa dan negeri ini). Di tengah suasana itu, kita akan coba melihat kiprah dan sumbangan Amir bagi kebangkitan dan kemerdekaan bangsa dan negeri ini.
3. Karena keterbatasan waktu dsb., catatan ini saya buat berdasarkan tiga literatur saja, yaitu:
(1) Fred D. Wellem, Amir Syarifuddin: Tempatnya dalam Kekristenan dan dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (Jakarta: STT Jakarta, 1982, tesis MTh)[3];
(2 Gerry van Klinken, Minorities, Modernity and the Emerging Nation – Christians in Indonesia – a Biographical Approach (Leiden: KITLV Press, 2003), h. 115-150, 188-206.
(3) Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 32006), bab III, dan beberapa literatur yang diacu di dalamnya.[4]
Latar Belakang dan Corak Nasionalisme Amir Sjarifoeddin
Bagi kita sekarang, menjadi seorang Kristen sekaligus seorang nasionalis bukanlah hal yang sulit ataupun aneh. Tetapi pada awal abad ke-20 hal itu belum lazim. Hingga waktu itu sulit sekali membayangkan ada seseorang beragama Kristen dan sekaligus nasionalis. Citra umum orang Kristen adalah orang-orang yang – karena sudah mendapat perlakuan khusus dari penjajah Belanda – selalu loyal kepada pemerintah kolonial. Memang sejak akhir abad ke-19 sudah ada perkumpulan pribumi Kristen di negeri ini yang memperlihatkan minat dan kepedulian terhadap kehidupan sosial-politik. Misalnya Rencono Budiyo yang terbentuk di Mojowarno-Jatim tahun 1898, yang kemudian berkembang menjadi Mardi Pratjojo pada tahun 1912/13 dan menjadi Perserikatan Kaoem Christen (PKC) sejak 1918. Tetapi perkumpulan ini baru sebatas di Jawa dan bagi orang-orang Jawa, dan lebih memperlihatkan dukungan kepada (atau paling kurang kerjasama dengan) pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Di tempat tertentu sejak dasawarsa ke-2 abad ke-20 memang ada juga perkumpulan Kristen yang sadar politik dan menyatakan diri menentang penjajahan Belanda, misalnya Hatopan Kristen Batak (HKB) di bawah pimpinan M.H.Manullang dkk. Tetapi itu juga lebih bersifat lokal/kesukuan.[5]
Baru sejak 1920-an ada kerinduan dan kesadaran untuk membentuk organisasi yang mencakup seluruh atau sebanyak mungkin suku di Indonesia dan yang bertujuan melawan penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam situasi itulah Amir Sjarif-oeddin tampil ke gelanggang politik Indonesia. Kesadaran nasional itu sudah mulai tumbuh dalam dirinya ketika ia bersekolah di Belanda tahun 1921-1927, terutama pada tahun-tahun terakhir masa sekolahnya di sana, di mana ia berkenalan a.l. dengan Mohammad Hatta.
Kesadaran itu semakin berkembang setelah ia kembali ke tanah air dan sejak ia menjadi mahasiswa Rechtshogeschool (RHS) di Batavia sejak 1928. Di sana ia a.l. bergabung dengan Mohammad Yamin yang empat tahun lebih tua, termasuk dalam club debat di Jl. Kramat 106 dan di dalam Perhimpunan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI). Beralihnya ia dari seorang Muslim menjadi Kristen (dibaptis di HKBP Kernolong tahun 1931) tidak mengurangi – bahkan sebaliknya – memperkuat kesadaran nasionalismenya, walaupun ia semakin kehilang-an kebatakannya (karena sejak itu ia sedikit-banyak memutuskan hubungan dengan masa lalu Bataknya, a.l. dengan tidak mematuhi aturan adat Batak, termasuk dalam perkawinan, 1935).[6]
Walaupun Amir menjadi Kristen di bawah bimbingan beberapa tokoh Kristen Belanda yang saleh (a.l. Schepper [dosennya di RHS] dan C.L.van Doorn), tetapi itu tidak membuatnya kehilangan semangat nasionalisme lalu berpihak kepada kolonial Belanda; justru sebaliknya! Salah seorang idolanya adalah Toyohiko Kagawa, seorang Kristen yang sangat saleh di Jepang namun yang sangat memperhatikan kehidupan bangsanya, terutama mereka yang miskin akibat penindasan sosial-ekonomi para penguasa maupun yang menderita akibat perang. Bagi Amir, agama atau kekristenan bukanlah sesuatu yang beku karena corak institusionalnya.
Nasionalismenya semakin mencuat ketika ia sejak 1937 menjadi salah seorang pemimpin Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), sebuah organisasi politik yang didirikan sekelompok orang muda pengagum Soekarno. Gerindo menganut garis ‘modern cooperation’ (kerjasama dengan penguasa berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi mdoern), yang oleh Mohammad Yamin diungkapkan juga dengan istilah ‘loyal opposition’. Dalam kongres kedua Gerindo di Palembang 1939 Amir mengungkapkan visinya tentang Indonesia yang demokratis, dan di situ ia berbicara tentang pergulatan antara demokrasi dan kediktatoran yang juga terlihat di Asia.[7]
Sikap kritisnya bersama sejumlah orang muda terhadap pemerintah kolonial Belanda membuatnya berulang kali (sejak 1935) ditangkap dan dipenjarakan, dan organisasi yang dipimpinnya (termasuk sejumlah media massa yang menjadi saluran perjuangan mereka) diawasi dan dibatasi secara ketat. Barulah sejak 1941, ketika mulai terlihat tanda-tanda bahwa Jepang akan melakukan invasi, pemerintah Hindia-Belanda mempercayakan tugas tertentu kepada Amir, karena pemerintah melihat sikap dan pernyataan Amir yang anti-fasis Jepang.[8] Kiprah politiknya pada dasawarsa 1930-an itu membuat Amir dikenal sebagai seorang tokoh kharismatis atau pemimpin politik-nasionalis yang sangat berkharisma.[9]
Sikap dan Pandangan Amir tentang Partai Politik Kristen dan Gereja
Amir – antara lain berbekal pendidikan pada Gymnasium di negeri Belanda 1921-1927 tsb. di atas – justru menentang paham politik dan nasionalisme yang dikaitkan dengan agama tertentu, seraya menekankan nasionalisme Indonesia yang mencakup semua suku dan agama. Sudah pada tahun 1928 ia menulis:
… Kita harus memperhitungkan diri kita sendiri sebagai penduduk asli Indonesia. Di sini ada begitu banyak kebangsaan. Dan belum lama ini terbentuk gerakan mempersatukan Islam. Dan kalau orang pribumi Kristen juga punya gagasan untuk mendirikan gerakan persatuan, maka nasionalisme akan tetap terdengar sebagai nada yang tak ada artinya.[10]
Dengan kata lain pada awalnya Amir melihat pembentukan partai Kristen di Indonesia justru sebagai ancaman terhadap nasionalisme, kendati ia tetap menghormati tokoh-tokoh di lingkungan partai Kristen yang sebagian sudah disebut di atas. Karena itulah ia memilih bergabung dengan Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), partai yang pernah dijuluki barisan depan gerakan nasional yang sudah disebut tadi. Ia juga mendukung dan berusaha keras menyukseskan Petisi Soetardjo dan memperjuangkan adanya sebuah parlemen yang sungguh-sungguh. Untuk tujuan itu ia bersama-sama sejumlah pemuka Islam dan I.J. Kasimo, tokoh Perhimpunan Politik Katolik Indonesia, menetapkan tanggal 18 Februari 1940 sebagai hari berpuasa dan berdoa.[11]
Sejak pertengahan 1940 Amir memisahkan diri dari Gerindo dan menjadi aktif dalam kehidupan gereja. Ia antara lain menghadiri konferensi Nederlands-Indische Zendings-Bond (NIZB) di Karangpandan, Solo (21-24 Oktober 1941), yang membicarakan tanggung jawab serta partisipasi gereja dan umat Kristen dalam bidang politik. Di situ Amir antara lain menegaskan bahwa pada satu pihak umat Kristen merupakan bagian integral dari bangsanya. Karena itu seharusnya mereka berjuang bahu-membahu dengan kaum Muslim dan nasionalis untuk mencapai kemerdekaan, tanpa menyembunyikan pandangan mereka sendiri. Tetapi pada pihak lain ia mengakui bahwa berbagai faktor dari luar bisa memaksa orang Kristen untuk mempunyai partainya sendiri, agar dapat melindungi hak-hak mereka. Tentang hal ini Amir berkata:
Dalam tujuan politiknya orang-orang Kristen harus berdiri di samping orang-orang Islam dan para nasionalis lainnya. Mereka harus hidup dari visi dan ideologinya sendiri. Sebagai orang Kristen kita tidak boleh berdiam diri, kita harus menuntut tempat kita yang sah. Bagaimana ideologi kita ini dirumuskan? Bagaimana tempat kita itu ditentukan? Di mana letak kekhasan visi Kristen?[12]
Apakah saya, sebagai Kristen harus membentuk partai Kristen sendiri, ataukah kewajiban saya untuk membawa dasar-dasar Agama saja kepada partai-partai yang telah ada, sehingga partai-partai ini dapat dipengaruhi oleh tujuan Agama saja itu? Tetapi jika golongan saya (yaitu kaum Kristen) bermaksud hendak mendirikan partai politik sendiri, maka saya akan berdiri di belakang mereka.[13]
Pernyataan yang terakhir ini tampaknya merelatifkan atau agak bergeser dari pernyataannya terdahulu (dan juga yang kemudian), walaupun ia tidak pernah menjadi anggota ataupun pengurus partai politik Kristen, dan pernyataan ini membuat ia dikecam keras oleh para tokoh Muslim, yang melihat konferensi NIZB itu sebagai sarana untuk melanjutkan serangan kaum Kristen terhadap Islam. Bagaimana pun juga, bagi kalangan Kristen pada masa itu Amir dilihat sebagai pembela yang paling fasih bahasanya dalam memperjuangkan emansipasi kaum Kristen, dan pandangannya memberikan inspirasi yang – entah disadari atau tidak – menjadi relevan dalam sejarah peranan orang-orang Kristen pada masa-masa berikutnya.
Baik juga di sini diselipkan catatan bahwa - sejalan dengan kiprahnya yang semakin banyak di lingkungan Kristen sejak 1941 - pada sekitar akhir 1941 dan awal 1942 Amir ditunjuk menjadi Sekretaris Dewan Kurator dari Hoogere Theologische School (HTS, sekarang STT Jakarta) dan juga menjadi dosen bahasa Yunani. Tetapi tugas itu tidak sempat dilaksanakannya karena Jepang keburu datang, HTS ditutup (a.l. karena semua dosen-asingnya diinternir), dan Amir sendiri ditangkap dan dipenjarakan oleh Jepang.[14]
Amir Sjarifoeddin pada Zaman Jepang dan Revolusi (1942-1949)
Di atas sudah disinggung bahwa pada akhir masa kekuasaan pemerintah kolonial Hindia-Belanda, Amir ditugasi pemerintah kolonial tersebut menjadi pemimpin “Liga Anti Fascist”, yang a.l. bertugas menyatakan dan mempropagandakan perlawanan terhadap Jepang yang sudah siap-siap menginvasi seluruh Asia termasuk Indonesia. Ketika Jepang benar-benar tiba dan berkuasa, Amir segera dimata-matai dan diintai. Tetapi karena pada waktu itu Amir sempat bekerja di kantor Mohammad Hatta yang notabene dapat bekerjasama dengan Jepang, Amir untuk sementara dapat ‘selamat’, bahkan Amir ditugaskan Jepang untuk menjadi propagandis Gerakan Tiga-A. Sebagai siasat perjuangan, Amir menerima tugas itu, sambil terus melanjutkan gerakan bawah-tanahnya.
Dalam keadaan masih bebas itu, menjelang Natal 1942 Amir bersama sejumlah orang Kristen menerbitkan Boekoe Peringatan Hari Djadi Isa A-Maseh. Pada buku ini Amir Sjarifoeddin (selaku pemimpin redaksi), sambil memelihara sikap kritis terhadap kehadiran pemerintah pendudukan Jepang, mengemukakan manfaat dari perubahan sejarah dan ’dunia baru’ yang ditimbulkan oleh pendudukan Jepang atas Asia, yaitu peluang untuk mewujudkan jemaat atau gereja Indonesia yang asli dan mandiri, termasuk di dalamnya gereja-gereja Tionghoa. Setelah mengacu tulisan H. Kraemer (The Christian Message in a non Christian World, 1938, hlm. 408 dst.), Amir berkata bahwa dunia atau zaman baru ini mendorong umat Kristen Indonesia untuk lebih serius memikirkan masa depannya, sambil belajar dari umat Kristen di tempat lain:
Keadaan perang sekarang ini memaksa kaum Kristen memikirkan dengan sedalam-dalamnya tentang tujuan jemaat dan gerejanya. Dahulu kita idam-idamkan gereja yang berdiri sendiri. Sekarang oleh sejarah dunia pada masa ini kita telah berada di tengah-tengah gereja yang mesti berdiri sendiri, … artinya jemaat yang mesti hidup sendiri dari kekuatan sendiri, baik dalam hal keuangan, maupun dalam kebathinan … Dan di dalam hal ini baik barangkali kita belajar dari usaha kaum Kristen di Nippon, di Korea, di Tiongkok dan India. … Gereja Kristus di Asia, khususnya di Indonesia, meminta supaya kita memperdalam keyakinan kita, sebab mungkin sekali sejarah Gereja Kristus buat zaman yang akan datang sebagian besar akan ditulis dan dicatat di Asia.[15]
Ternyata Amir tidak dapat terus kucing-kucingan dengan Jepang. Februari 1943 ia bersama 53 orang lainnya ditangkap Kenpeitai di Surabaya, dipenjarakan di Kalisosok, lalu dipindahkan ke penjara Salemba-Jakarta, lalu ke penjara Glodok, Cipinang, Sukamiskin, dst. Salah satu alasan penangkapannya adalah pidatonya pada perayaan Natal 2602 (=1942) tsb. di atas, yang berisi kecaman terhadap pemerintah Jepang. Ia selanjutnya divonnis hukuman mati dengan tuduhan melakukan kegiatan mata-mata bagi Sekutu. Sebelum dieksekusi (ternyata tidak jadi, dan hukumannya diubah menjadi seumur hidup, a.l. berkat perjuangan Soekarno dan Hatta) ia disiksa dengan hebat dan dipenjarakan di Malang. Bahkan hingga September 1945 ia masih mengalami penyiksaan oleh Jepang termasuk disalibkan dengan kepala ke bawah kaki ke atas. Dalam keadaan seperti itu Amir justru menekuni Alkitab (khususnya Perjanjian Lama), mengabarkan Injil, dan melayani ibadah. Dengan demikian sebagian besar dari masa pendudukan Jepang dijalani Amir di penjara.[16] Ketika Soekarno-Hatta memproklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, Amir tidak tahu, karena masih mendekam di penjara Malang. Ia baru dibebaskan tanggal 1 Oktober 1945, dalam status sebagai Menteri Penerangan dalam kabinet RI yang merdeka.
Mengenai masa di penjara yang penuh penyiksaan itu, Wellem a.l. berkomentar:
Sulit bagi kita untuk menilai bahwa penyiksaan yang dialami Amir itu adalah karena ia beragama Kristen. Agaknya penyiksaan itu dilakukan untuk mengorek pengakuan Amir bahwa ia adalah seorang Komunis sebagaimana dituduhkan kepadanya. Namun peristiwa itu memperlihatkan kepada kita bahwa Amir adalah seorang Kristen yang setia kepada Tuhannya sekalipun ia mengalami siksaan hebat. Ia tetap mengaku dirinya sebagai seorang Kristen dan bukan sebagai seorang Komunis. Memang, selama hidupnya kekristenannya tidak pernah ditutup-tutupinya.[17]
Kita tidak sempat membicarakan di sini kiprah Amir sejak bebas dari penjara dan menjadi Menteri itu (lalu dua kali menjadi Perdana Menteri) hingga ia meninggal. Itu akan dibahas oleh panelis lain. Namun demikian, beberapa catatan dan kesimpulan F.D. Wellem berikut ini perlu kita renungkan: Tanggal 19 Desember 1948 Amir Sjarifoeddin bersama sejumlah orang yang dicap sebagai pemimpin PKI ditembak mati di Ngalihan, sebelah timur Solo, atas perintah Gatot Soebroto, Gubernur Militer di Solo, bertepatan dengan hari pihak Belanda melakukan agresi militer II, karena dikuatirkan bahwa mereka itu akan ikut memberontak atau menyeberang membantu Belanda.[18] Pada waktu hendak ditembak mati, Amir hanya meminta waktu satu jam untuk berdoa sebagai permintaannya yang terakhir. Amir ditembak mati sementara kedua tangannya memegang Kitab Injilnya. Amir mati bersama Kitab Injilnya.[19]
Jikalau kita menghubungkan kekristenan Amir dengan keterlibatannya dalam peristiwa pemberontakan PKI di Madiun maka timbul kesulitan yang tidak terjawab. Pada satu pihak kita melihat bahwa Amir tidak pernah melepaskan kekristenannya, namun pada pihak lain ia terlibat dalam peristiwa tsb. Oleh karena itulah T.B. Simatupang bertanya: mungkinkah Amir tidak dapat mensintesekan kekristenan dengan nasionalisme serta dengan komunisme, sehingga keluar ia kadang-kadang menimbulkan kesan kurang tenteram dan kurang stabil?[20]
Penilaian dalam bentuk pertanyaan ini tidak disetujui Wellem. Ia berkata: seluruh hidup Amir, bakatnya, kecakapannya, uangnya, dipersembahkannya untuk membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan pemuda dan rakyat Indonesia.[21] Menurut Amir, orang Kristen harus berjuang bersama-sama dengan golongan lainnya di Indonesia. Amir melihat bahwa pergerakan nasional bukanlah suatu bidang yang harus dihindari oleh orang Kristen. Tidak ada pertentangan antara kekristenan dengan pergerakan kemerdekaan. Seorang Kristen yang menjadi nasionalis tidaklah berarti telah menjadi seorang pengkhianat Injil Kristus. Seorang Kristen yang baik dapatlah juga sekaligus menjadi seorang nasionalis yang baik. Amir Sjarifoeddin adalah seorang proro-tipe politikus Kristen. Pandangannya tentang wahana lewat mana orang Kristen Indonesia melibatkan dirinya dalam perjuangan kemerdekaan menarik perhatian kita. Amir berpendapat bahwa keterlibatan orang Kristen dalam pergerakan kemerdekaan tidak boleh dibatasi pada partai politik Kristen saja, tetapi juga lewat partai yang tidak berdasarkan kekristenan. ... Tugas orang Kristen dalam berbagai-bagai partai politik non-Kristen tersebut adalah memasukkan dasar-dasar dan cita-cita kekristenan ke dalamnya.[22]
Mr. Amir Sjarifoeddin adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, seorang negarawan dan politikus Kristen. Ia juga adalah seorang teolog awam Indonesia, pengkhotbah dan tokoh perintis gerakan oikumenis di Indonesia. Ia adalah seorang Kristen yang saleh hingga akhir hidupnya, namun dalam kesetiaannya kepada Republik Indonesia telah disesatkan oleh Musso bersama PKI-nya.[23] Tentu Amir juga memiliki sejumlah kelemahan yang tak perlu kita tutup-tutupi. Dr. J. Verkuyl, misalnya, dalam salah satu tulisannya memberi komentar dan penilaian tentang Amir, “Tiap aliran hendak mempergunakan tokoh yang gemilang ini dan tiap orang mengetahui kelemahannya, di mana ia paling mudah dikuasai, yakni lagak-lagunya, keinginannya untuk memainkan peranan pemimpin dan terus saja memimpin, bagaimana pun keadaannya.”[24]
Makna Amir Sjarifoeddin bagi Kita Sekarang
Amir Sjarifuoeddin adalah seorang manusia biasa, anak zamannya, dengan segala kelebih-an dan kekurangannya. Kepada keluarga ia tidak mewariskan harta-benda yang memadai untuk menopang kehidupan mereka selanjutnya. Bahkan uang pensiun yang diterima Ibu Djaenah Harahap hingga akhir hayat almarhumah sebagai janda mantan Perdana Menteri jauh dari memadai. Anak-cucunya juga dibatasi pemerintah RI untuk mengunjungi dan memugar makam almarhum. Namun demikian, di dalam keberadaannya yang demikian, ia telah mewariskan berbagai hal berharga bagi generasi berikutnya, termasuk kita. Tak perlu lagi kita ulangi penilaian dari beberapa pengamat dan penulis yang sudah dikemukakan di atas.
Sekarang banyak orang yang mengaku nasionalis, tetapi kita tidak tahu apa yang mereka telah abdikan bagi bangsa dan negeri ini. Yang lebih banyak kita ketahui adalah apa yang mereka reguk, keduk dan nikmati dari kekayaan negeri ini, kendati mereka gemar mengatas-namakan rakyat yang miskin dan menderita. Mareka (dan kita?) yang bertabiat dan berperilaku seperti itu patutlah bercermin kepada Amir Sjarifoeddin, baik dalam hal keluasan wawasannya dan kekayaan intelektualnya maupun keberanian berkorban dan menderita demi bangsanya. Tuhan memang mengaruniakan talenta dan kharisma yang berbeda-beda kepada setiap orang; tidak bisa ada Soekarno, Hatta, Yamin, Sutan Sjahrir, atau Amir Sjarifoeddin jilid dua. Tetapi berbagai hal berharga yang mereka teladankan patutlah kita tiru dan hargai.
Khusus bagi kalangan Kristen masa kini, terutama yang doyan [ber]politik, keteladanan Amir sungguh patut dicamkan. Sejak awal era ‘reformasi’ ini muncul sekian banyak partai berlabel Kristen. Cukup banyak orang Kristen (termasuk sejumlah rohaniwan/pendeta) yang memperlihatkan kiprah politiknya secara sektarian, berjuang atas nama kepentingan agama dan berani mengatasnamakan semua umat Kristen di negeri ini. Amir tidak mempersalahkan teman-temannya Kristen berkiprah di partai politik Kristen (misalnya PKMI/Parkindo). Tetapi ia lebih memilih gerakan dan organisasi yang memberi ruang pada semua suku dan penganut semua agama yang ada di negeri ini, karena ia sangat menyadari dan menghargai kemajemukan bangsa dan negeri ini. Di sisi lain ia tetap memperlihatkan jatidiri dan panggilan kristianinya secara terbuka, pun ketika harus mengalami penyiksaan. Berapa banyak orang yang mengaku sebagai politikus Kristen masih punya integritas dan keberanian seperti itu pada masa kini? Semoga masih ada!
[1] Disampaikan pada Peringatan 101 Tahun Amir Syarifoeddin, di Aula STT Jakarta, Selasa sore 27 Mei 2008.
[2] Pendeta Gereja Kristen Protestan Indonesia, Dosen Sejarah Kristen, dan Ketua STT Jakarta, Ketua PGI.
[3] Diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan (PSH) Jakarta tahun 1984, tetapi kemudian dibreidel/dilarang beredar oleh pemerintah/Kejaksaan Agung RI. Namun demikian, menurut keterangan Bp. Tunggul Siagian (24 Mei 2008), PSH sekarang sedang memproses penerbitan/pencetakan-ulang buku ini.
[4] Salah satu yang penting adalah artikel Amir Sjarifoeddin dalam Boekoe Peringatan Hari Djadi Isa Al-Maseh, nomor istimewa 25-12-2602 (tahun Jepang), diterbitkan oleh Komite Penerbitan Boekoe Peringatan Hari Djadi Isa Al-Maseh (Mr. Amir Sjarifoeddin dkk.), Djalan Kramat 65 Djakarta.
[5] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 190-195 dan 117-118+198.
[6] Gerry van Klinken, Minorities, Modernity and the Emerging Nation, h. 117-121.
[7] Ibid., h. 130-131.
[8] Antara lain memimpin organisasi bawah tanah, “Liga Anti Fascist” yang bertujuan melawan propaganda Jepang (Wellem, op.cit., h. 159).
[9] Bnd. judul bab VI buku Van Klinken, op.cit.: Amir Sjarifoeddin and Nationalist Charisma. Juga kesimpulan Van Klinken pada ibid., h. 149: „Young urban pemuda of the late 1920s and early 1930s saw Amir as a charismatic hero.”
[10] Dikutip Hoekema (Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis., hlm. 213) dari artikel Amir Sjarifuddin dalam majalah terbitan Gymnasium di Haarlem (tempatnya belajar dulu): Mirabile Lectu, Februari 1928; juga dikutip dalam Aritonang, op.cit., h. 206.
[11] Walaupun Amir Sjarifoeddin mendukung Petisi Soetardjo, namun karena Gerindo yang dipimpinnya terkenal sebagai partai yang sangat anti Jepang, pada tahun 1940 ia sempat diangkat pemerintah H-B sebagai pejabat tinggi di Departemen Perekonomian. Onghokham, Runtuhnya Hindia-Belanda, hlm. 37-8 (diacu dalam Aritonang, op.cit., h. 207).
[12] Dikutip Ngelow (Kekristenan dan Nasionalisme, hlm. 170) dari majalah Opwekker no. 86, th. 1941, hlm. 60.
[13] Dikutip Hoekema (op.cit., hlm. 214) dari majalah Semangat Baroe no. I/45, 8 November 1941.
[14] Wellem, op.cit., h. 178.
[15] Amir Sjarifuddin, ”Menoedjoe KejemaƤt Indonesia Asli”, dalam Boekoe Peringatan, hlm. 6-8.
[16] Wellem, op.cit., h. 162-169.
[17] Ibid., h. 170.
[18] Ibid., h. 304.
[19] Ibid., h. 312.
[20] T.B. Simatupang, Laporan dari Banaran, h. 84; dikutip dalam ibid., h. 321.
[21] Wellem, ibid., h. 324.
[22] Ibid., h. 332-333.
[23] Ibid., h. 335.
[24] Dikutip Wellem dalam ibid., h. 162, dari J. Verkuyl, Injil dan Komunisme di Asia dan Afrika, h. 75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar