Konservasi "Mangrove" Jakarta
Chris Poerba
Jakarta : Kota Dalam Baskom
Taman Wisata Alam Angke-Kapuk Benteng Pertahanan Jakarta
Di dalam Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, maka disebutkan 2 hal penting yang merupakan ruang terbuka hijau dan perlu terus dirawat, keduanya termasuk daerah resapan air yaitu Hutan Kota dan Sabuk Hijau (Greenbelt). Bila hutan kota dapat diartikan sebagai hamparan pohon-pohon yang terdapat dalam suatu kawasan pada tanah negara, maka sabuk hijau (greenbelt) difungsikan untuk membatasi perkembangan aktivitas-aktivitas yang berlebihan pada suatu lahan.
Taman Wisata Alam (TWA) Angke-Kapuk terletak di wilayah Kotamadya Jakarta Utara, merupakan salah satu kawasan konservasi alam yang berekosistem hutan bakau (mangrove). TWA Angke-Kapuk ini memiliki areal seluas 99,82 Ha. Lokasinya berdekatan dengan perumahan Pantai Indah Kapuk dan tidak jauh berdekatan dengan Km 26 jalan tol Sedyatmo, jalan tol yang menuju ke Bandara Soekarno-Hatta. Ruas jalan Km 26 jalan tol Sedyatmo ini juga yang pernah tergenang air laut pasang bulan Mei 2008 lalu. Mengingat posisinya yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa dan berada di sekitar aktivitas yang cukup padat maka kawasan ini juga dapat dinyatakan sebagai Sabuk Hijau (Greenbelt).
Ironisnya bahkan beberapa waktu yang lalu pernah dikabarkan kawasan ini akan dilakukan pengalih-fungsian (konversi) lahan, karena termasuk program reklamasi pantai untuk pemenuhan kebutuhan perumahan. Hanya kepentingan ekonomi semata yang menyebabkan upaya reklamasi dengan menambahkan sebidang lahan di laut. Fenomena yang terdapat di pesisir pantai utara saat ini adalah hutan mangrove digantikan “hutan beton” dengan beragam bangunan mewah seperti perumahan, lapangan golf, dan sebagainya. Hutan beton ini juga menyebabkan kapasitas sampah yang terbawa aliran sungai Angke bertambah. Padahal pohon bakau ini sangat dibutuhkan terutama untuk menurunkan gas karbon (CO2), penahan angin, terutama penahan abrasi pantai.
Saat ini TWA Angke-Kapuk difungsikan menjadi pusat rehabilitasi mangrove Jakarta. Beberapa kegiatan sedang diupayakan seperti penanaman bibit pohon bakau yang baru. Hal ini dikarenakan saat gelombang reformasi 1998, maka “budaya latah” merajalela di Indonesia. Penjarahan dan perambahan semua aset dan tanah negara oleh rakyat dianggap suatu kewajaran. Termasuk di dalamnya perambahan hutan mangrove di lokasi ini dengan perubahan fungsi kawasan yang ilegal menjadi tempat pertambakan ikan dan permukiman. Sehingga kawasan ini tidak hanya rentan akan perubahan fungsi lahan dari ulah para investor melainkan juga ulah para petambak petambak liar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar