Kamis, 13 November 2008

Konservasi "Mangrove" Jakarta


Konservasi "Mangrove" Jakarta

Chris Poerba



Jakarta : Kota Dalam Baskom

Jakarta termasuk salah satu kota di belahan bumi yang lokasinya berada di bawah ketinggian permukaan air laut. Hal ini juga menyebabkan Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia sangat rentan terhadap beberapa acaman terkait siklus perubahan iklim. Bahkan saat ini perubahaan iklim sangat drastis akibat dampak pemanasan global (global warning). Jakarta dapat dianalogikan seperti kota yang berada di dalam baskom. Terkait dengan ini lokasi yang berada di bawah permukaan air laut. Bila mengacu pada perspektif “kota dalam baskom” ini maka sudah sewajarnya semua aktivitas-aktivitas manusia dengan lingkungan binaannya dapat diaplikasikan lebih bijaksana. Perubahan kota Jakarta yang sangat pesat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup. Bahkan bencana-bencana yang ditimbulkannya semakin lebih buruk. Permasalahan banjir merupakan salah satu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas oleh pemerintah kota. Siklus musim hujan secara periodik dengan curah hujan yang tidak menentu merupakan masalah rutin yang selalu dihadapi setiap penentu kebijakan di kota ini. Pada tahun 2006 Jakarta tenggelam, semua wilayah di kota tercinta ini lumpuh. Kota berhenti melakukan aktivitasnya semua lalu lintas jalur transportasi, perdagangan dan jasa lumpuh. Bahkan evakuasi bantuan kepada para warga yang menjadi korban banjir tidak efektif dan maksimal bila dikaitkan dengan waktu dan jumlah para korban.

Masih terkait dengan “kota dalam baskom”, saat ini Jakarta tidak hanya menghadapi masalah banjir di kala musim hujan. Air laut pasang (rob) juga menenggelamkan sebagian kawasan yang berada di pesisir di Jakarta Barat dan Utara. Pada bulan Februari 2008, di Jakarta Utara ketinggian air permukaan laut melebihi ambang bartas normal. Beberapa hal disebabkan oleh adanya air laut pasang secara periodik.

Pada bulan Mei 2008, masih nyata dalam ingatan kita aktivitas Bandara Udara Soekarno Hatta terganggu. Dikarenakan air laut pasang dan menggenangi ruas jalan tol Sedyatmo terutama di Km 26 dan Km 27. Genangan juga diakibatkan dengan jebolnya tanggul. Genangan air laut ini selain berlangsung secara siklus periodik juga terkait dengan pemanasan global. Dikarenakan berada di khatulistiwa maka kemungkinan dampak bencana yang terburuk akan berlangsung di Indonesia.

Jakarta, sebagai pusat dari pemerintahan termasuk di dalamnya aliran perdagangan dan jasa menjadi sangat rentan terhadap perubahan iklim baik yang secara periodik maupun yang drastis. Perencanaan kota selama ini tidak melihat pendekatan “kota dalam baskom”, sehingga setiap perencanaan dan penataan kota tidak melihat ambang batas lingkungan. Pembangunan kota selalu dilangsungkan dengan pendekatan ekonomi dan berbanding terbalik dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan termasuk pemulihan biaya pemulihan lingkungan. Pembangunan kota selalu dalam koridor “pemenuhan kebutuhan” terutama fisik semata, yang jelas pemenuhan kebutuhan ini tidak akan pernah ada batasnya.

Pembangunan fisik dengan penyediaan rumah dan sarana komersialnya mengakibatkan luas areal terbangun di Jakarta lebih besar bila dibandingkan dengan luas areal tidak terbangun. Berdasarkan hasil penelitian Neraca Keseimbangan Lingkungan Hidup Daerah tahun 2006, Jakarta memiliki areal seluas 661, 62 km2 dengan rincian luasan areal yang sudah terbangun 609,61 km2 (91,99 %) dari luas keseluruhan wilayah kota. Sedangkan luas areal yang tidak terbangun ini termasuk 18,180 hektar. Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang merupakan daerah resapan air dan sekaligus cadangan air di musim kemarau. Minimnya daerah resapan air di Jakarta ini yang menyebabkan saat musim penghujan Jakarta semakin banjir. Sehingga terlihat jelas bahwa aktivitas-aktivitas terkait dalam perencanaan tata ruang di Jakarta yang menyebabkan berkurangnya lahan resapan air yang seharusnya dapat menjaga kualitas hidup lingkungan di Jakarta.


Taman Wisata Alam Angke-Kapuk Benteng Pertahanan Jakarta


Di dalam Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, maka disebutkan 2 hal penting yang merupakan ruang terbuka hijau dan perlu terus dirawat, keduanya termasuk daerah resapan air yaitu Hutan Kota dan Sabuk Hijau (Greenbelt). Bila hutan kota dapat diartikan sebagai hamparan pohon-pohon yang terdapat dalam suatu kawasan pada tanah negara, maka sabuk hijau (greenbelt) difungsikan untuk membatasi perkembangan aktivitas-aktivitas yang berlebihan pada suatu lahan.

Taman Wisata Alam (TWA) Angke-Kapuk terletak di wilayah Kotamadya Jakarta Utara, merupakan salah satu kawasan konservasi alam yang berekosistem hutan bakau (mangrove). TWA Angke-Kapuk ini memiliki areal seluas 99,82 Ha. Lokasinya berdekatan dengan perumahan Pantai Indah Kapuk dan tidak jauh berdekatan dengan Km 26 jalan tol Sedyatmo, jalan tol yang menuju ke Bandara Soekarno-Hatta. Ruas jalan Km 26 jalan tol Sedyatmo ini juga yang pernah tergenang air laut pasang bulan Mei 2008 lalu. Mengingat posisinya yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa dan berada di sekitar aktivitas yang cukup padat maka kawasan ini juga dapat dinyatakan sebagai Sabuk Hijau (Greenbelt).

Ironisnya bahkan beberapa waktu yang lalu pernah dikabarkan kawasan ini akan dilakukan pengalih-fungsian (konversi) lahan, karena termasuk program reklamasi pantai untuk pemenuhan kebutuhan perumahan. Hanya kepentingan ekonomi semata yang menyebabkan upaya reklamasi dengan menambahkan sebidang lahan di laut. Fenomena yang terdapat di pesisir pantai utara saat ini adalah hutan mangrove digantikan “hutan beton” dengan beragam bangunan mewah seperti perumahan, lapangan golf, dan sebagainya. Hutan beton ini juga menyebabkan kapasitas sampah yang terbawa aliran sungai Angke bertambah. Padahal pohon bakau ini sangat dibutuhkan terutama untuk menurunkan gas karbon (CO2), penahan angin, terutama penahan abrasi pantai.

Saat ini TWA Angke-Kapuk difungsikan menjadi pusat rehabilitasi mangrove Jakarta. Beberapa kegiatan sedang diupayakan seperti penanaman bibit pohon bakau yang baru. Hal ini dikarenakan saat gelombang reformasi 1998, maka “budaya latah” merajalela di Indonesia. Penjarahan dan perambahan semua aset dan tanah negara oleh rakyat dianggap suatu kewajaran. Termasuk di dalamnya perambahan hutan mangrove di lokasi ini dengan perubahan fungsi kawasan yang ilegal menjadi tempat pertambakan ikan dan permukiman. Sehingga kawasan ini tidak hanya rentan akan perubahan fungsi lahan dari ulah para investor melainkan juga ulah para petambak petambak liar.


TWA Angke-Kapuk menjadi ruang terbuka hijau, daerah resapan air, termasuk juga untuk menahan gelombang pasang air laut. Dari fungsinya ini maka kawasan ini juga dapat disebut sebagai salah satu dari sedikitnya benteng pertahanan kota Jakarta. Selain itu juga kawasan ini sebagai hutan wisata, konsep wisata berbasiskan ekologi dengan kepadatan bangunan yang rendah. Meskipun demikian sampai dengan sekarang kegiatan penghutanan kembali atau rehabilitasi mangrove merupakan agenda yang paling mendesak untuk dijalankan.



Tidak ada komentar: