Oleh Chris Poerba
Berikut sekedar membagikan ulasan singkat dari :
Deklarasi Guru Ketrampilan dan Seni
&
Diksusi Kumpulan Pusi ”Cinta Itu Tidak Dosa” dari
Y.F Nata (Suster Nata)
Meja Budaya – HB Jassin. TIM
18 Juli 2008
Sekedar membagikan cerita yang menginspirasi bagi saya, dan mudah-mudahan menginspirasi bagi teman-teman lainnya. Seorang per-Empu-an yang pernah berada di titik nadir terendah/ titik nol dan telah menemukan dunianya kembali.
Acara dikusi kumpulan puisi dimulai sekitar pukul 16.00 sore yang dipandu oleh moderator Martin Aleida dan pembahas Sides Sugiarto (maaf bila ada kesalahan penulisan nama) dan tentunya menghadirkan sang penulis puisi Y.F Nata yang biasa disapa dengan Suster Nata. Suster Nata yang lahir 9 Juni 1968 merupakan alumni Pendidikan Seni Rupa IKIP (sekarang UNJ), pernah bekerja sebagai guru seni rupa, photografer, penulis freelance, volunteer, penah mengadakan pameran bersama dan tunggal dan saat ini melakukan kerja-kerja sosial di bidang pertanian dan pendidikan alternatif di desa Salem, Purwakarta.
Suster Nata pernah mengalami sebuah kecelakaan yazng tragis pada 10 Mei 2005, saat mobil yang ditumpanginya mengalami kecelakaan yang sangat berat. Kecelakaan dalam perjalanan dari Yogyakarta ke Desa Salem, Purwakarta lalu ke Jakarta. Kecelakaan tersebut hanya menyisakan seorang Suster Nata sebagai satu-satunya penumpang yang selamat dari jumlah 3 orang penumpang. Bahkan saat itu Suster Nata sedang terlelap tidur di dalam mobil. Meskipun demikian tetap saja yang bersangkutan mengalami kehancuran fisik tubuh yang sangat berat (semua organ-organ tubuh berubah, bergeser, dan luluh lantah). Bahkan saat ditanya Suster Nata menyatakan ’body saya ini semuanya sudah diganti’
”Patah pada paha kiri, pangkal paha kanan lepas dan tempurungnya remuk, patah pada pergelangan tangan kiri. Demikian juga dengan lima tulang iga di dada sebelah tangan. Sedangkan wajah bagian kanan tak luput dari kehancuran. Tulang pipi kanaan remuk bagai piring pecah. Rongga mata kanan bergeser ke bawah. Rahang atas juga bergeser ke belakang sejauh dua belas milimeter. Dengan kondisi lever sobek, sulit untuk melakukan operasi pada tulang-tulang yang patah. Setelah seratus tujuh belas hari dalam perawatan di Rumah Sakit Carolus, saya boleh menikmati kesembuhan kembali” (Baca Hlm 5)
Dan tentunya juga yang terberat adalah trauma yang mendalam. Suster Nata mengalami ujian fisik dan psikis yang hanya bisa dilakukan dengan pengobatan yang berbeda satu dengan lainnya. Salah satu terapi mental yang dilakukan adalah menulis.
Buku kumpulan puisi ini yang berjudul ’Cinta Itu Tidak Dosa’-Amare Non Est Peccatum di tulis di Rumah Sakit Sint Carolus dan masa pemulihan di Villa Kramat. Merupakan ’Sketsa Perjalanan Cinta Terlarang’ (tertulis juga di bagian sampul muka) . Ter-’larang’ disini bukan sebuah analogi yang konotatif melainkan denotatif karena ter-’larang’ ini berasal dari bahasa Jawa jadi ter-’mahal’ (larang = mahal). Sehingga semua kumpulan puisi ini mendeskripsikan sebuah sketsa perjalanan cinta yang sangat mahal. Hanya cinta yang memungkinkan terwujudnya kembali sebuah kehidupan. Sebuah kehidupan yang sangat ter-’larang’(ter-’mahal’).
Bahkan proses kreatifitas mewujudkan kumpulan puisi ini juga sangat ’larang’. Suster Nata mengatakan saat kecelakaan itu maka satu-satunya organ tubuh saya yang masih terbilang masih utuh adalah tangan kanan saya. Dan tangan kanan ini yang difungsikan sebagai tempat asupan cairan dari selang infus dan sumber utama proses kreatifitas. Alhasil beberapa puisi ini ditulis dengan tangan kanannya dalam bentuk SMS pada HP miliknya dan beberapa disimpan dan ada yang telah dikirimkan ke teman-temannya. Dalam proses pemulihan fisik puisi juga tidak bisa langsung diwujudkan dalam format komputasi seperti lazim digunakan diakibatkan terbatasnya akses memiliki itu, alhasil semua teks-teks puisi di buku ini merupakan sebuah tulisan tangan.
Yang menarik untuk disampaikan, kecelakaan yang menimpa Suster Nata adalah saat menuju Desa Salem dalam rangka kepentingan dan fasilitasi ”perbaikan moral komunitas guru pendidikan dasar dan menengah mendampingi anak-anak dan remaja tanah air.” Sebuah kerja-kerja sosial yang terus dilakukannya hingga kini di Desa Salem Yogyakarta. Saat ditanya Sides Sugiarto kenapa kumpulan puisi ini tidak memuat kegiatan-kegiatan seperti pendidikan alternatif yang dilakukan selama ini. Suster Nata dengan sederhana menyatakan semua yang terkait dengan bidangnya meliputi pendidikan akar rumput dengan segala kreatifitas penyampaiannya sudah terwadahi dengan kerja-kerja sosial di Desa Salem yang juga sebagai tempat tinggalnya. Suster Nata juga sangat menyayangkan pola prilaku guru-guru yang selalu membuka kelas-kelas tambahan (les private bagi muridnya) bukan melakukan kreatifitas dalam penyampaian ide dan ilmu kepada muridnya dapat lebih mudah mengerti (mudah dipahami) tidak terlalu formalitas. Seperti yang juga dikatakan Paulo Freire yang menyatakan ’bahasa generatif’ yang berada di lokalitas merupakan gejala harus dapat ditangkap terlebih dahulu sebelum melakukan penyampaian ide-ide dan gagasan-gagasan selanjutnya.
Penutup, sebuah puisi dari Suster Nata yang sangat menghargai kemanusiaan dan kehidupan sebuah makna dari ’kelahiran baru’ yang ditulis di Kramat Sentiong tanggal 22-09-2005 (Halaman 61 -62)
Perempuan di Titik Nol
Perempuan di titik nol
sungguh buta dan tuli
tanpa bayangan tanpa cerminan diri
Dia ada, tapi dia tidak ada
...........................................
Di sini,
di titik nol langkahpun mulai diayunkan
Hati baru penuh cinta telah lahir kembali
Kembali bersama jati diri
Jati diri sang aku
Tulisan ini sudah pernah saya publikasi di beberapa milis
jurnalperempuan@yahoogroups.com, Apresiasi-Sastra@yahoogroups.com, lingkungan@yahoogroups.com, pasarbuku@yahoogroups.com, mediacare@yahoogroups.com, sastra-pembebasan@yahoogroups.com, natapwk@yahoo.com
NB :
Bagi yang hendak bertegur sapa atau bertukar pikiran dapat menghubungi Suster Nata di natapwk@yahoo.com atau 0818812622